Jogja Serambi Madinah

MUI DIY Ingin Wujudkan Yogyakarta Serambi Madinah

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Pengurus baru Majelis Ulama Indonesia masa bakti 2016-2021 berharap dapat melanjutkan kembali upaya menjadikan Yogyakarta sebagai serambi Madinah.

Ketua Umum MUI DIY 2016-2021 KH.M.Thoha Abdurrahman mengungkap, upaya menjadikan Yogyakarta sebagai serambin Madinah terkendala tanah. Sebelumnya, MUI pada tahun 2011 sudah berdialog dengan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X terkait tanah di Jalan Kenari

“Tetapi kata Sultan tidak bisa karena itu sudah digunakan oleh tentara,” ungkapnya, Sabtu (3/4).

Jelang Musyawarah MUI DIY Desember 2016, Thoha bertemu lagi dengan Sultan Hamengku Buwono X dan Sultan mengatakan asal jangan di kota kemungkinan bisa yakni di ringroad barat atau utara.

‘’Kami juga minta anggaran dari Danais untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai serambi Madinah. Pak Gubernur mengatakan asal isinya terkait dengan kebudayaan bisa. InsyaAllah Yogyakarta sebagai serambi Madinah isinya kebudayaan,’’tutur Thoha yang akan bertemu dengan GBPH Hadiwinoto yang mengurusi tanah milik Keraton Yogyakarta.

Untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai serambi Madinah akan didirikan Masjid yang disekelilingnya ada Islamic Center, Shopping Center, tempat olah raga, dan lain-lain yang menjadi pusat kegiatan MUI dan Umat Islam di DIY. Di samping itu juga untuk wisata religius. Karena itu Thoha berharap dalam rapat pleno MUI hal itu dibahas khusus.

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam sambutannya yang dibacakan oleh Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Setda DIY Pujiastuti mengatakan, MUI harus menjaga nilai-nilai kebangsaan dan kehidupan bermasyarakat dan bernegara  di tengah tantangan kehidupan umat beragama yang semakin kompleks.

‘’MUI ke depan harus mampu memposisikan diri sebagai lembaga pengayom, pemelihara umat, serta mampu bekerjasama dengan pemerintah dan seluruh komponen bangsa secara cerdas dalam mengedepankan nasib bangsa terutama DIY,’’kata Sultan.

Adapun yang dilantik menjadi pengurus MUI DIY Periode 2016-2021 kebanyakan merupaakan pengurus sebelumnya seperti halnya Ketua Umum MUI KH. M. Thoha Abdurrahman dan Sekretaris Umum KRT. H. Ahmad Muhsin Kamaludiningrat.

Sumber : Republika
https://republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/03/04/omafal313-mui-diy-ingin-wujudkan-yogyakarta-serambi-madinah

November 3, 2021 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Serambi Madinah Direncanakan MUI Jogjakarta

Pada kepengurusan baru Majelis Ulama Indonesia masa bakti 2016-2021 kembali berupaya untuk menjadikan Daerah Istimewa Jogjakarta sebagai serambi Madinah.

Diberitakan Republika, ketua umum MUI DIY 2016-2021 KH.M.Thoha Abdurrahman mengungkap upaya menjadikan Yogyakarta sebagai serambi Madinah terkendala tanah. Sebelumnya, MUI pada tahun 2011 sudah berdialog dengan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X terkait tanah di Jalan Kenari. Sri Sultan menerangkan jika terkait dengan budaya hal ini bisa terwujud.  KH M Toha menerangkan, untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai serambi Madinah akan didirikan masjid yang disekelilingnya ada islamic center, shopping center, tempat olah raga, dan lain-lain yang menjadi pusat kegiatan MUI dan umat islam di DIY.

sumber :
https://www.mqradio.co/serambi-madinah-direncanakan-mui-jogjakarta.html

November 3, 2021 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Bregodo Ganggeng Samudro, jaman kerajaan islam Demak Bintoro di lahirkan kembali di Jogjakarta

Bregodo Ganggeng Samudro, jaman kerajaan islam Demak Bintoro di lahirkan kembalidi Jogjakarta


Prajurit Penjaga moral masyarakat yang sudah ada sejak jaman kerajaan Demak Bintoro jaman raden patah, yaitu bregodo ganggeng samudro di lahirkan kembali pada sabtu malam ahad 20 maret 2010 , di resmikan oleh Adiknya Sri Sultan Hamengkubuwono yaitu kanjeng Pangeran Drs.Yudaningrat,MM.

Prajurit dengan seragam hijau ini bertugas menjaga masyarakat supaya selalu memegang teguh tatanan keyakinan dan amal sesuai yang di ajarkan oleh sayid yunus pada masa jaman kerajaan islam di tanah jawa demak bintoro. semoga kelahiran kembali di Sleman jogjakarta ini bisa menghidupkan kembali semangat keislaman di negeri Jogjakarta sebagai pewaris kerajaan islam di tanah jawa.

Acara yang di gelar di Sanggrahan Maguwoharjo Depok Sleman jogjakarta ini di hadiri ribuan jamaah pengajian dari beberapa pesantren dan jamaah masjid dari 5 kabupaten di jogjakarta dan sekitarnya. terlihat puluhan bis memenuhi jalan desa maguwoharjo. Acara di mulai dengan amaliyah sholawat, pengajian, launching prahurit bregodo dan di lanjutkan pagelaran budaya wayang kulit semalam suntuk, menggugah kembali ajaran walisngo kepada masyakarat jogjakarta.

Semoga dengan di launchingnya prajurit bregodo ganggeng samudro ini bisa memenuhi harapan dari majelis buhorean kraton ngayogyakarta hadiningrat terhadap realisasi Ngayogyakarto Serambi Madinah, sebagaimana di sampaikan pengajian dari KH. Nurasalam yang mengupas kepemimpinan Rasulullah dengan Piagam Madinah bisa menyatukan masyarakat yang plural.

Lihat juga  Film di Koleksi Video JSM di Facebook

Tim JSM

jogja Serambi Madinah

March 20, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Sultan: Umat Muslim Hendaknya Teladani Nabi Muhammad

Sultan: Umat Muslim Hendaknya Teladani Nabi Muhammad

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan umat muslim hendaknya meneladani Nabi Muhammad SAW dalam seluruh perilakunya. “Perilaku yang patut diteladani adalah mulai dari akidah (keyakinan kepada Tuhan YME) dan akhlaknya, hingga berbagai amalannya dalam bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, maupun pemerintahan,” tandas Sultan dalam sambutannya yang dibacakan Wakil Gubernur DIY Paku Alam IX pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pemerintah Provinsi DIY, Kamis.

Gubernur DIY menyebutkan Nabi Muhammad SAW memiliki sifat sidiq, ketauhidan yang kokoh, kepribadian yang lemah lembut, pengasih, dan amanah dalam kehidupan sehari-hari, sehingga patut diteladani. Oleh karena itu, menurut Sultan, diharapkan jajaran pegawai negeri sipil (PNS) Pemprov DIY sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, semestinya dapat memberi pelayanan yang baik kepada masyarakat sesuai perilaku yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW melalui sifat-sifat terpujinya itu.

Disebutkan pula, dalam memberi pelayanan kepada masyarakat, Nabi Muhammad SAW penuh toleransi, saling mendukung dan saling mengasihi. Maka, menurut gubernur, setiap muslim tidak boleh berpikir egois, tetapi hendaknya berpikir dalam kerangka bagi kepentingan umat manusia.

Suri tauladan yang tetap relevan hingga akhir zaman nanti yaitu Islam, karena melakukan transformasi sosial kemasyarakatan dari kondisi zaman kegelapan menjadi terang benderang. Menurut Sultan, reformasi sosial tersebut sarat dengan etika dan moral, serta memberi petunjuk mengenai tata cara berhubungan dengan sesama manusia maupun dengan pencipta-Nya.

Gubernur DIY menegaskan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tidak akan bermakna apa-apa selain hanya aktivitas ritual dan rutinitas belaka, jika kaum muslim tidak mau diatur dengan wahyu Allah yaitu Al Quran maupun Sunnah Rasul. Kelahiran Nabi Muhammad SAW, menurut dia mengandung makna. Sebab, Muhammad diangkat menjadi nabi dan rasul Allah dengan tugas menyampaikan wahyu Allah kepada umat manusia, agar bisa menjalankan apa yang telah diperintahkan Allah SWT.

Sementara itu, Kepala Kanwil Kementerian Agama DIY H Afnadi selaku ketua penitia peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW mengatakan kegiatan ini bertujuan memberi pembinaan mental dan agama kepada PNS serta masyarakat guna meneladani Rasulullah dalam menjalankan pengabdiannya. Melalui peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, kata dia, diharapkan PNS bisa meningkatkan iman dan taqwanya kepada Allah SWT, sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan bisa meningkatkan pula kreativitas dan kinerjanya menjadi lebih baik.

Pada kesempatan itu, Uztad Ahmad Jauhari, MSi dalam ceramahnya mengajak meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWT, karena pada zaman sekarang maksiat sudah merajarela dan membuat umat terkadang bimbang dalam menjalankan syariat Islam.

Sumber : Republika

March 12, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Merunut sejarah menggagas masadepan Mataram : Napak Tilas Perjanjian Giyanti Bersama 4 Raja Jawa

Merunut sejarah menggagas masadepan Mataram :

Napak Tilas Perjanjian Giyanti

Bersama 4 Raja Jawa

APA sesungguhnya yang menjadi latar belakang diadakannya pertemuan empat raja Jawa, di Salatiga,  Di desa Giyanti (Janti) itulah awal dari runtuhnya kerajaan Mataram dan kemudian melahirkan kerajaan baru bernama Yogyakarta Hadiningrat.

Dalam bukun karya Mr Kanjeng Pangeran Haryo Soedarisman Purwokoesoemo terbitan Gadjah Mada University Press 1985, secara garis besar dituturkan tentang situasi politik, ekonomi, dan keamanan di tahun 1775.

Kerajaan Mataram Islam dengan raja Sunan Paku Buwono III dipusingkan oleh pemberontakan yang dipimpin kerabatnya sendiri, yakni Pangeran Mangkubumi, yang menolak persekutuan antara Mataram dengan VOC.

Perlawanan Pangeran Mangkubumi terhadap Paku Buwono III akhirnya dicarikan solusi dengan digelarnya pertemuan di Giyaanti. Proses panjang dialog antara kubu Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi ditengahi oleh Gubernur Jenderal N Hartings akhirnya menghasilkan beberapa poin dalam perjanjian yang ditandatangani pada  17 Maret 1755

Poin yang sangat mendasar dari pertemuan itu, Pangeran Mangkubumi mendapat bagian setengah dari Kerajaan Mataram di sebelah barat Sungai Opak. Bagi yang sering atau pernah ke Yogyakarta atau Surakarta, kali Opak merupakan sungai kecil yang membelah kompleks Candi Prambanan,

Pangeran Mangkubumi berhak menjadi raja yang pusat pemerintahannya di Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah. Hak menguasai wiayah Mataram sebelah barat, menurut perjanjian itu, sifatnya turun temurun hingga sekarang. Sedangkan Mataram sebelah timur sungai Opak tetap dikuasai Paku Buwono III dengan pusat pemerintahan di Surakarta.

Wilayah bagian barat sungai Opak yaang dikuasai Pangeran Mangkubumi merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Mataram oleh Danang Sutawijaya yang memisahkan diri dari kekuasaan Sultan Hadiwijaya di Pajang. Saat itu, Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati diberi hadiah hutan Mentaok dan kemudian atas kekuasaan Panembahan Senopati dibangunlah kerajaan Mataram.

Ternyata dalam perkembangan selanjutnya, politik adu domba Belanda sukses membuat dua kerajaan ini kembali terpecah. Dalam perjalanan sejarah, Pangeran Sambernyowo dari Surakarta kemudian mendirikan kadipaten sendiri yang otonom terpisah dari Kerajaan Surakarta. Wilayah kekuasaan Pangeran Sambernyowo kemudian kita kenal hingga sekarang dengan sebutan Mangkunegaran, karena pangeran ini berkuasa dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro.

Sementara itu, Pangeran Notokusumo dari Yogyakarta dalam perjalanan sejarah juga mendirikan daerah otonom yang terpisah dari Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Notokusumo mendapat kekuasaan sebagian dari wilayah Yogyakarta dan mendirikan kadipaten otonom, yakni Kadipaten Pakualaman. Notokusumo bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam.

Kedua pangeran itu secara turun temurun mewariskan kekuasaan ekonomi, sosial., politik dan keamanan masing-masing kepada anak keturunan mereka.

Jika keempat raja di empat kerajaan berdarah Mataram itu kemudian berkumpul menyamakan visi di era modern ini, tentu bukan bermaksud untuk menyatukan kekuatan untuk mendirikan negara baru. Sebab secara jelas, dan disebutkan dalam undang-undang, Kerajaan Yogyakarta, Pakualaman, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran adalah bagian dari wilayah Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia.

Pertemuan juga lebih didasari oleh keprihatinan perkembangan situasi masa kini. Bangsa Indonesia yang masih terpuruk pasca runtuhnya kekuasaan Soeharto, perkembangan ekonomi yang seolah jalan di tempat dan kehidupan rakyat yang tidak segera bangkit.

Rasa keprihatinan itu dirasakan benar oleh empat raja yang kini mewarisi budaya empat kerajaan pecahan dari Kerajaan Mataram itu, masing-masing Sutan Hamengku Buwono X, Sunan Paku Buwono XIII, KGPAA Paku Alam IX dan KGPAA Mangku Negoro IX.

Ternyata dari empat raja yang hendak dihadirkan panitia, hanya Sultan Hamengku Bowono X yang hadir, sedangkan yang lain, tidak bisa hadir dengan alasan yang berbeda-beda.

Tentu kita sebagai orang awam pun merasakan hal sama. Dalam bentuk yang berbeda, situasi Indonesia sekarang ini tidak jauh beda dengan situasi akhir kerajaan Mataram. Yang masih menguntungkan adalah, sekarang tidak ada penjajah Belanda, tetapi justru semangat penjajah itu ada dalam diri sebagian dari elite-elite kita. Mari kita hantarkan bangsa ini ke gerbang kemerdekaan lahir batin dan kesejahteraan yang merata.

Sumber : Kompas

March 12, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Mari Dukung Jogja Yang Bermoral “Sultan HB X Menyemai Bibit Malu Korupsi”

Mari Dukung Jogja Yang Bermoral

“Sultan HB X Menyemai Bibit Malu Korupsi”

Nilai-nilai kearifan lokal atau local wisdom dalam suku Jawa yang ditanamkan nenek moyang sejak lama dapat menjadi benteng dari keinginan memperkaya diri dengan cara korupsi. Sayangnya, nilai-nilai moral itu telah luntur dimakan zaman, atau dianggap tidak relevan lagi karena deraan ekonomi yang semakin membebani rakyat sehingga melakukan hal yang tidak seharusnya dianggap wajar dan bahkan jadi panutan. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, sejak lama falsafah merasa malu jika moralitasnya tercela telah tumbuh subur di kalangan masyarakat Jawa. “Ada pepatah Jawa yang menyebut, “Kelangan nyawa ora apa-apa, kelangan bandha yo separoh apa-apa , kelangan harga diri artine kelangan sakabehe.” Kehilangan jiwa tidak apa-apa, kehilangan harta berati hilang separuh hidup, tetapi hilang harga diri berarti hilanglah segala-galanya, ” urai Raja Jawa itu dalam Sarasehan Kebangsaan Rekonsiliasi Sejarah kedua yang digelar di Kota Salatiga, Jawa Tengah.

Sarasehan ini dilaksanakan aliansi wartawan lintas media, Ekayastra Ummada Semangat Satu Bangsa. Putut Prabantoro, ketua panitia, mengatakan, sedianya akan hadir empat raja Jawa, yakni Sultan HB X, Susuhunan Paku Buwono XIII, KPAA Paku Alam IX, dan KPAA Mangkunegara IX. Namun, hanya Sultan yang hadir dalam pertemuan itu. Walau menyampaikan langsung pandangannya, Susuhunan Paku Buwono XIII mengirimkan makalah berjudul Membangun Kejayaan Bangsa Berbasis Kearifan Lokal. Sultan melanjutkan, orangtua dahulu selalu menanamkan budi pekeri dan akhlak kepada anak-anaknya. Mereka diminta menomorsatukan moralitas di atas segala-galanya. Sebab, dengan moral yang terjaga baik berbagai keinginan dan nafsu dapat diatasi sehingga tidak terjerembab pada perbuatan jahat. Dengan menjaga moralitas, mestinya orang yang memiliki integritas akan dihargai dan dihormati. Tetapi apa yang terjadi sekarang, seseorang dihargai atau dianggap orang hebat di antara tetangganya jika orang itu kaya.

“Di masyarakat sekarang, seseorang dilihat dari kekayaannya. Walau seseorang mengumpul harta kekayaannya dari korupsi dia tetap dihargai dan disegani karena kaya. Padahal, dari konsepsi moralitas dia telah kehilangan harga diri, berarti kehilangan segala-galanya,” ujar Sultan .

Mengingat praktik korupsi sudah merasuki masyarakat Jawa dan Indonesia umumnya, Sultan mengimbau agar kerifan lokal itu dihidupkan kembali dan dimulai dari diri sendiri dengan menyemai rasa malu jika menyimpang dari kaidah-kaidah moral. “Dengan konsepsi moralitas tadi, mestinya kita malu korupsi. Rasa malu korupsi ini yang harus kita tanamkan,” pesan Sultan. Sultan juga menyoroti kerapnya kekerasan yang terjadi mengatasnamakan aliran atau agama terhadap penganut aliran atau agama lain. Dia memaknai kehidupan pada dua relasi, yakni Ketuhanan dan Kemanusiaan. Ketuhanan hubungan vertikal manusia dengan Allah, yang transendental, sedangkan relasi manusia dengan manusia lainnya horizontal. “Dengan konsepsi itu, seharusnya tidak ada satu pihak yang memaksakan kehendaknya kepada orang lain dengan menatasnamakan kitab suci,” tutur Sultan. Konflik Tidak Tuntas Sarasehan Kebangsaan Rekonsiliasi Sejarah II ini membahas tentang Tata Baru untuk Rakyat, memaknai Perjanjian Giyanti pada 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta dan kemudian diikuti dengan munculnya Pura Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman.

Selain Sultan, sejumlah wartawan senior tampil sebagai pembicara, yakni Wakil Pemimpin Redaksi harian Kompas Trias Kuncahyono, Wakil Pemimpin Redaksi Solo Pos Wahyu Susilo, Pemimpin Redaksi Suara Merdeka Onlin Aulia A Muhammad, Pemimpin Redaksi Global TV Siane Indriyani, dan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Joglosemar, dengan pembawa acara Kris Biantoro. Pemimpin Redaksi Suara Merdeka Onlina Aulia A Muhammad mengatakan, konflik internal raja-raja Jawa dahulu sering berakhir tanpa penyelesaian tuntas. Solusi yang diambil, kalau terjadi perpecahan, maka satu pihak membentuk kerajaan baru. “Cara-cara seperti ini masih terus berlanjut sampai saat ini di bangsa kita. Lihatlah parpol-parpol kita, seperti PKB yang katanya Partai Kebangkitan Bangsa, tapi tidak bangkit-bangkit, malah justru pecah belah. Inilah karena penyelesaian konflik yang tidak tuntas,” ujarnya. Pembicara pertama, Trias Kuncahyono, mengatakan, media massa memiliki keberadaan strategis dalam perjalanan suatu bangsa. “Media massa, cetak maupun elektronik, adalah menggunakan kata-kata. Kata adalah kekuatan yang mahabesar. Kaum beriman mengenal kata kisah penciptaan, Terjadilah, maka terjadi. Tetapi kata bisa juga menghancurkan. Kalau media sering menyajikan kata-kata kebencian, maka kehancuran akan cepat terjadi,” ujarnya sembari mengimbau kalangan pers turut menyajikan berita-berita baik yang menyejukkan pembaca.

Mencegah konflik di masyarakat tradisional, kata Sultan, harus dimulai dengan perubahan pola pikir dan hidup dengan mulai biasa berkompetisi. “Kalau masyarakat tradisional beranggapan kompetisi itu merusak harmoni, sedangkan masyarakat modern menganggap kompetisi suatu hal yang baik sejauh masih bertujuan positif dan dapat dikendalikan.” Sultan juga membandingkan pelajaran hak asasi manusia versi Barat dan Jawa. “Kalau di Barat ditulis, jika kamu memukul orang, maka kamu melanggar pasal sekian… tetapi bagi leluhur kita, ajaran itu berbunyi, jika kamu sakit karena dipukul orang, maka kamu jangan pernah memukul orang,” katanya

Sumber : Kompas

March 12, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Cak Nun : Mewujudkan Yogyakarta Sebagai Serambi Madinah

Cak Nun : Mewujudkan Yogyakarta Sebagai Serambi Madinah

YOGYA (KRjogja.com) – Budayawan Emha Ainun Najib atau yang akrab disapa Cak Nun mengusulkan kepada pemerintah, Yogyakarta hendaknya dijadikan sebagai Serambi Madinah. Menurutnya, Yogyakarta yang dimaksud bukan Yogyakarta secara administratif, namun Yoyakarta secara kultural, yang sudah didirikan sejak jaman Kerajaan Mataram.

“Dua hari yang lalu saya diundang oleh pihak kraton, oleh Gusti Joyo (GBPH Joyokusumo) untuk membicarakan hal ini. Sebenarnya saya tidak punya hak untuk mengekspos. Intinya, dari dulu Ngayogyakarta ini sudah kaya’ Madinah, cuma perlu dikasih label saja, yaitu Serambi Madinah, untuk mengingatkan pluralisme model Madinah. Launchingnya kapan juga belum tahu, namun mungkin akan dilakukan di Serambi Masjid Gedhe” ujar Cak Nun di Yogyakarta, Senin (30/11).

Menurut cak Nun, hal ini wajar, lantaran kondisi pluralisme model Kota Madinah di jaman lahirnya Islam, memiliki kesamaan dengan tingkat toleransi yang ada di Yogyakarta. Menurutnya, dari sinilah bentuk keistimewaan Yogyakarta terlihat nyata, dimana Yogyakarta didatangi oleh berbagai kelompok pendatang, dengan aneka ragam budaya dan kepercayaan.

Kedepan, menurutnya, hal yang diutamakan dalam pembangunan Yogyakarta seperti konsep ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, yakni pengukuhan kedaulatan pangan dan multikulturalisme. “Yogyakarta secara kultural akan menjadi masyarakat Madaniah atau masyarakat madani, dimana yang utama adalah kedaulatan pangan, multikultural, baru unsur-unsur lainnya,” terangnya.

Untuk mewujudkannya, terang Cak Nun, perlu ada toleransi yang tinggi antar umat beragama. Dirinya juag mengimbau, para TNI agar tidak menilai orang berdasarkan agama dan menolong siapapun berdasarkan kemanusiaan tanpa melihat agama.

“Kebaikan itu tidak memakai identitas. Menolong orang jangan lihat dia Islam atau Kristen. Di Napoli, Eropa, ada orang Katholik yang menjadi ketua panitia pembangunan masjid. Di Canberra, Australia, ada pastor yang menyumbang 5.000 buku untuk perpustakaan masjid di sana. Bagaimana kalau itu dibalik dan diterapkan di sini, misalnya kyai membantu pembangunan gereja, apa kita siap untuk itu?” tanya Cak Nun.

Sumber:  KR Jogja

March 5, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

HARIAN JOGJA: Ngayogyakarta Serambi Madinah

Ngayogyakarta Serambi Madinah

HARIAN JOGJA: Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat siap memproklamirkan diri sebagai Ngayogyakarta Serambi Madinah. Konsep ini digadang-gadang akan mendukung keistimewaan DIY. Konsep daerah yang terinspirasi dari Piagam Madinah ini tengah digodok oleh Keraton dan ditargetkan selesai Maret tahun ini. Menurut Keraton, konsep Serambi Madinah ini ke depannya bukan hanya milik umat Islam, melainkan milik seluruh masyarakat Jogja.

“Saat ini kami bersama berbagai elemen sedang membahas secara periodik mengenai konsep Serambi Madinah,” jelas Penghageng Kewedanan Hageng Panitrapura Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat GBPH Joyokusumo.

“Pada prinsipnya, ‘Serambi Madinah’ akan menjadi produk budaya, bukan produk agama. Sehingga serambi merupakan milik mereka yang merasa warga Jogja,” tambahnya, kemarin.

Piagam Madinah yang dibuat pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW diakui sebagai bentuk perjanjian dan kesepakatan bersama bagi membangun masyarakat Madinah yang plural, adil, dan berkeadaban.

Diakui Gusti Joyo, konsep Ngayogyakarta Serambi Madinah dikaitkan dengan Piagam Madinah, yang pada waktu itu disusun masyarakat Madinah saat kepemimpinan Nabi Muhammad SAW melalui proses dialog.

“Butir-butir Piagam Madinah tersebut ada delapan. Lantas kita mencoba menguraikannya dengan kondisi Ngayogyakarta sejak dari masa Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX,’’ katanya.

Digagas MUI
Awalnya konsep Ngayogyakarta sebagai Serambi Madinah telah dideklarasikan secara sepihak oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY, beberapa hari sebelum memasuki Bulan Suci Ramadan tahun lalu.

Lantas Keraton bersama beberapa organisasi masyarakat di DIY membahasnya secara matang. “Mereka yang terlibat adalah organisasi Islam, dan umat beragama lain yang tergabung dalam Forum Komunikasi Umat Beriman (FKUB). Serta, sejumlah kalangan dari perguruan tinggi,” tambah Gusti Joyo.

Piagam Madinah bisa dianalogikan dengan kondisi DIY yang dipenuhi pendatang. “Dan di bawah kepemimpinan Ngarso Dalem Ngayogyakarta suasana bisa tetap kondusif. Konsep Ngayogyakarta Serambi Madinah akan menambah makna keistimewaan DIY yang selama ini sudah terkenal sebagai kota pelajar, pariwisata, dan kota yang betoleransi.”

Ditambahkan adik kandung Sri Sultan Hamengku Buwono X ini, pembahasan konsep Ngayogyakarta Serambi Madinah ditargetkan akan selesai Maret tahun ini. “Sebelum launching, kami akan berkonsultasu dengan Sri Sultan,” katanya.

Posisi Sultan dalam konsep Serambi Madinah, nantinya sebagai ‘patron’. “Beliaulah nantinya yang akan mendeklarasikan. Sekaligus akan memberikan imbauan atau perintah kepada masyarakat. Dalam kaitan produk budaya itu bisa dikembangkan dalam menata masa depan kehidupan di DIY,” kata dia.

Terobosan positif
Sosiolog UGM Ari Sujito berpendapat, konsep Ngayogyakarta Serambi Madinah adalah sebuah terobosan baru untuk mendukung keistimewaan DIY. Apalagi spirit dari konsep tersebut adalah menghargai pluralisme.

Namun Ari menambahkan, konsep Ngayogyakarta Serambi Madinah akan benar-benar mendukung keistimewaan DIY jika dimasukkan dalam draft RUUK. Selama konsep tersebut tidak ada dalam draft RUUK maka hanya akan hadir sebagai wacana.

“Keraton harus mengclearkan konsep ini ke publik serta pemerintah pusat dan lantas diperdebatkan. Dengan harapan bisa dimasukkan dalam draft RUUK,” tambah Ari.

Kesamaan sejarah
MUI memiliki alasan sendiri mengapa mendeklarasikan Ngayogyakarta Serambi Madinah. Ditilik dari segi sejarah, perjalanan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah ternyata memiliki kesamaan dengan kisah bergabungnya Jogja dengan NKRI.

“Muhammad yang berkedudukan sebagai kepala agama sekaligus kepala pemerintahan bersama umat muslim saat itu hijrah dari Mekkah ke Madinah. Keadaan ini serupa dengan keadaan DIY. Waktu dikejar-kejar Belanda, Bung Karno meminta izin Sultan agar bisa melindungi RI, jadi posisi Sultan HB IX sebagai pelindung atau pemberi suaka,” jelas Sekretaris Umum MUI DIY Ahmad Mukhsin Kamaludiningrat saat dihubungi Harian Jogja, tadi malam.

Keadaan Madinah menurut Ahmad juga memiliki kesamaan dengan Jogja yang identik dengan nuansa keragaman. Jogja sebagai miniatur Indonesia memiliki keberagaman agama, budaya, dan suku. Madinah, sebagai sebuah daerah juga memiliki keragaman agama yaitu Kristen, Yahudi dan Islam.

Konsep Nagyogyakarta Serambi Madinah pertamakali diusulkan MUI pada 19 Agustus 2006, dan saat itu proses pembahasan RUUK tengah panas. “Konsep ini lantas dibahas oleh tiga pihak, yakni keraton, Kanwil Depag, dan MUI. Setiap tahun, konsep ini terus disosialisasikan sehingga dikenal masyarakat. Puncaknya, pada 28 September 2009, ketiga pihak menandatangani MoU di Masjid Rejodani [Keraton], isinya sama-sama bertekat menjadikan Jogja sebagai Serambi Madinah,” jelas Ahmad.

Konsep Serambi Madinah untuk DIY lebih ditujukan untuk menjaga dan menghargai keragaman.

Oleh Andreas Tri Pamungkas, Mediani Dyah Natalia, & Laila Rochmatin
Sumber : HARIAN JOGJA

March 5, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Deklarasi Jogja Serambi Madinah oleh Tim Bukhoren Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat

NGAYOGYAKARTA SERAMBI MADINAH

( Identifikasi, Visi dan Semangat)

أعوذ بالله من الشيطان الرجيم

بسم الله الرحمن الرحيم

Definisi

Serambi Madinah adalah sebutan untuk Ngayogyakarta Hadiningrat. Sebutan ini telah merepresentasikan karakter sosial, budaya dan keagamaan yang hidup dan berkembang secara riil, sehingga menggambarkan sosok khittah Ngayogyakarta Hadiningrat yang hakiki.

Ngayogyakarta Serambi Madinah ini bukan partai, bukan ormas dan bukan organisasi apapun juga bukan bagian dari struktur Pemerintah. Ia merupakan sebutan yang terekspresikan dari luapan cita rasa Adhiluhung yang mengental dalam diri masyarakat Ngayogyakarta tentang jatidiri mereka.

Tujuh Identifikasi

Kesamaan Madinah dengan Ngayogyakarta

1.    Sejiwa dengan Piagam Madinah yang berisi penguatan masyarakat plural yang aman dan damai dalam disiplin dan identitas keagamaan yang jelas.

2.    Pusat pengembangan peradaban dengan ilmu pengetahuan dan budaya

3.    Bersatunya kaum Muhajirin (transmigran) dan Anshor (pribumi) yang hakiki,

artinya masyarakat Bhinneka Tunggal Ika dalam kehangatan ukhuwah yang tulus dan sejati.

4.    Kawah candra-dimuka untuk mencetak tokoh-tokoh besar

5.    Tempat perlindungan bagi orang yang teraniaya.

6.    Wilayah pengembangan nilai-nilai tradisional religius.

7.    Karakter masyarakat yang ramah dan sopan.

Delapan Visi Serambi Madinah

1.    Agama adalah anugerah Allah swt untuk membimbing para hamba-Nya agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

2.    Nikmat dan rahmat Allah swt amat banyak telah dilimpahkan pada hamba-Nya, maka haruslah disyukuri dan digunakan untuk hal-hal yang bermanfa’at dan diridhoi-Nya.

3.    Menyadari bahwa kehidupan hari ini adalah kelanjutan dari suatu proses yang telah berjalan panjang, maka di samping menghargai jasa-jasa dan prestasi para pendahulu kita juga harus melanjutkan dan mengembangkannya secara kreatif sebagai amanat amal jariyah.

4.    Menyadari akan keterbatasan setiap manusia maka mewujudkan generasi pelanjut yang lebih berkualiatas adalah suatu keharusan  yang tidak boleh diabaikan.

5.    Untuk mewujudkan kehidupan yang berkualitas, maka kebodohan dan keterbelakangan harus diperangi; oleh karena itu pendidikan mempunyai arti penting yang mutlak, baik pendidikan formal, informal, maupun non formal.

6.    Sebagai masyarakat yang berbudaya Adhiluhung, maka faktor moral dan akhlaqul karimah menjadi bingkai utama yang kokoh dan tegas dalam tatanan kehidupan sehari-hari.

7.    Agar tidak menjadi beban pada pihak lain dan demi menjaga muru’ah (hargadiri), maka jiwa Adhiluhung mengharuskan setiap pribadi memiliki penuh semangat dalam bekerja, berprestasi dan berjasa, tanpa mengabaikan tugas-tugas ritual keagamaannya.

8.    Sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan dalam menunaikan tugas dan kehidupan, maka dalam pergaulan harus saling menghormati, membantu, rukun dan  tenggang rasa.

Sepuluh Semangat Serambi Madinah

1.    Taqwa dalam beragama.

2.    Rukun dan hormat serta gotong royong dalam bermasyarakat

3.    Bersikap ramah dan sopan dalam bergaul.

4.    Hidup dengan landasan ilmu dan penuh ‘amal serta pengabdian

5.    Mewujudkan keluarga yang harmonis dalam mawaddah dan rahmah

6.    Mempersiapkan keturunan (anak cucu) sebagai generasi pelanjut yang lebih berkualitas

7.    Nguri-uri nilai-nilai lama yang bermanfa’at dan mengembangkannya secara selektif, sekaligus kreatif dan innovatif.

8.    Menghargai jasa para pendahulu / leluhur dan meneladaninya, serta menghargai setiap prestasi yang bermanfaat bagi kehidupan.

9.    Membangun karakter dan moral masyarakat dengan amar makruf nahi munkar secara bermartabat.

10.  Etos kerja yang tinggi untuk mencapai prestasi dalam bingkai tawakkal dan do’a.

Di-biwara-kan di Masjid Gedhe Yogyakarta

Tanggal 16 Agustus 2008 / 14 Sya’ban 1429

Tim Bukhoren

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat

GBPH H Joyokusumo

KH Aliy As’ad

HM Afandi, MPd.I

Beberapa Catatan :

a.    Bilangan tujuh (7) untuk identifikasi Kesamaan Madinah dengan Ngayogyakarta, diidentikkan dengan tujuh lapis langit yang disebutkan dalam Al Qur’an ( al. Surat Mulk ayat 3) dan jumlah hari. Juga dimaknakan agar memperoleh kemudahan dalam mencapai tujuan,dan dalam kata jawa disebutkan pitu yang dimaknakan agar memperoleh pitulungan (pertolongan, taufiq), pituduh (petunjuk, hidayah), dan pitutur (nasehat).

b.    Bilangan delapan (8) untuk visi Serambi Madinah, diidentikkan dengan jumlah para pejuang Ashabul Kahfi yang disebutkan dalam Al Qur’an (Surat Al Kahf ayat 22), jumlah butir do’a dalam duduk di antara dua sujud shalat, dan jumlah pintu sorga yang dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad saw. Karena itu visi ini mengandung semangat perjuangan yang tidak kenal padam untuk mencapai kesejahteraan dunia dan ridho Allah di sorga kelak.

c.    Bilangan sepuluh (10) untuk semangat Serambi Madinah, diidentikkan dengan kesempurnaan angka 10 yang disebutkan dalam Al Qur’an (Surat Al Baqarah ayat 196), dan bilangan 10 dimaknakan kembali ke nol yang berarti kembali pada kesucian yang fitri, juga lahirnya Serambi Madinah pada periode Sultan HB yang kesepuluh. Terkandung maksud suatu harapan semoga bersama kepemimpinan Sultan HBX ini masyarakat Serambi Madinah dapat menggapai kebahagiaan yang sempurna karena segala sepak terjangnya selalu dilandasi dengan kesucian hati yang fitri.

March 5, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Yogyakarta Siap Menjadi Serambi Madinah

Yogyakarta Siap Menjadi Serambi Madinah

Yogyakarta dibangun dengan konsep pesantren besar dan berbasis pada ke khalifahan.


Wacana untuk menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai Serambi Madinah kian menguat. Provinsi tersebut dinilai layak menjadi Serambi Madinah, karena faktor sejarah. Guna mewujudkan DIY sebagai Serambi Madinah, diperlukan penguatan dalam bentuk peraturan daerah (perda), sekaligus untuk menguatkan keistimewaan Yogyakarta.

“Konsep untuk mewujudkan DIY sebagai Serambi Madinah sudah ada. Dalam waktu dekat ini, Keraton Ngayogyakarta juga akan mengadakan sarasehan untuk , mematangkan konsep tersebut,” ungkap Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY, Muhammad Jazir di sela-sela Semiloka Optimalisasi Pengelolaan Masjid di Yogyakarta, Sabtu (26/12).Menurut Jazir, konsep untuk menjadikan DIY sebagai Serambi Madinah, semata-mata ditujukan untuk mengembalikan jati diri Yogyakarta sesuai dengan konsep awal pembangunan wilayah tersebut. “Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi I dengan konsep pesantren besardan bukan mengatasnamakan kekuasaan tetapi berbasis pada kekhalifahan,” paparnya. Dengan demikian, lanjut

Jazir, perwujudan DIY sebagai Serambi Madinah akan mampu mendukung keistimewaan DIY.Sehingga keistimewaan tersebut, papar dia, tidak hanya dimaknai dalam masalah pemilihan atau penetapan gubernur saja, tetapi lebih kepada cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Menurut Jazir, perwujudan DIY sebagai Serambi Madinah tak harus dimaknai dengan pelaksanaan syariat Islam yang saklek, tetapi lebih kepada pengertian aplikatif bukan dalam arti formalistik tetapi berbasis peradaban.Melalui perwujudan DIY sebagai Serambi Madinah tersebut, papar dia, masyarakat Yogyakarta diharapkan dapat memiliki peluang lebih besar untuk mengaplikasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pihaknya optimistis, perwujudan DIY sebagai Serambi Madinah tersebut tidak akan menimbulkan konflik baru di masyarakat, mengingat masyarakat Yogyakarta yang plural.

“Saya yakin, umat lain akan paham dan menerima, karena di dalam masyarakat dengan kaum Muslim sebagai mayoritas, maka umat minoritas akan terlindungi,” tutur Jazir menegaskan.Salah satu cara untuk mewujudkan DIY sebagai Serambi Madinah adalah penguatan fungsi masjid di masyarakat, khususnya dalam penyampaian dakwah. “Harus ada strategi khusus untuk menjadikan dakwah memiliki daya tarik dan kontekstual dengan marketing yang tepat,” papar Wali Kota Yogyakarta, Herry Zudianto yang menjadi pembicara dalam semiloka tersebut.

Dengan demikian, lanjutnya, masjid berfungsi menjadi pusat pencerahan kepada masyarakat, sehingga konsep untuk DIY sebagai Serambi Madinah dapat diwujudkan. Penguatan masjid pun, menurut Herry, dapat dilakukan dengan kemitraan antar-masjid, khususnya dalam manajemen. “Dengan manajemen yang terintegrasi, isu yang digulirkan pun akan menjadi lebih besar dan mengena di masyarakat,” ujarnya.

Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa, red) adalah nama yang diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727) sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati. Yogyakarta berarti Yogya yang kerta, Yogya yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berarti Yogya yang makmur dan yang paling utama.Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana. Dalam penggunaannya sehari-hari, Yogyakarta lazim diucapkan Jogja(karta) atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa).

Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di zaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschapperi. Di zaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja.Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II)  kemudian bergelar Adipati Paku Alam I

March 5, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment