Jogja Serambi Madinah

Cak Nun : Mewujudkan Yogyakarta Sebagai Serambi Madinah

Cak Nun : Mewujudkan Yogyakarta Sebagai Serambi Madinah

YOGYA (KRjogja.com) – Budayawan Emha Ainun Najib atau yang akrab disapa Cak Nun mengusulkan kepada pemerintah, Yogyakarta hendaknya dijadikan sebagai Serambi Madinah. Menurutnya, Yogyakarta yang dimaksud bukan Yogyakarta secara administratif, namun Yoyakarta secara kultural, yang sudah didirikan sejak jaman Kerajaan Mataram.

“Dua hari yang lalu saya diundang oleh pihak kraton, oleh Gusti Joyo (GBPH Joyokusumo) untuk membicarakan hal ini. Sebenarnya saya tidak punya hak untuk mengekspos. Intinya, dari dulu Ngayogyakarta ini sudah kaya’ Madinah, cuma perlu dikasih label saja, yaitu Serambi Madinah, untuk mengingatkan pluralisme model Madinah. Launchingnya kapan juga belum tahu, namun mungkin akan dilakukan di Serambi Masjid Gedhe” ujar Cak Nun di Yogyakarta, Senin (30/11).

Menurut cak Nun, hal ini wajar, lantaran kondisi pluralisme model Kota Madinah di jaman lahirnya Islam, memiliki kesamaan dengan tingkat toleransi yang ada di Yogyakarta. Menurutnya, dari sinilah bentuk keistimewaan Yogyakarta terlihat nyata, dimana Yogyakarta didatangi oleh berbagai kelompok pendatang, dengan aneka ragam budaya dan kepercayaan.

Kedepan, menurutnya, hal yang diutamakan dalam pembangunan Yogyakarta seperti konsep ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, yakni pengukuhan kedaulatan pangan dan multikulturalisme. “Yogyakarta secara kultural akan menjadi masyarakat Madaniah atau masyarakat madani, dimana yang utama adalah kedaulatan pangan, multikultural, baru unsur-unsur lainnya,” terangnya.

Untuk mewujudkannya, terang Cak Nun, perlu ada toleransi yang tinggi antar umat beragama. Dirinya juag mengimbau, para TNI agar tidak menilai orang berdasarkan agama dan menolong siapapun berdasarkan kemanusiaan tanpa melihat agama.

“Kebaikan itu tidak memakai identitas. Menolong orang jangan lihat dia Islam atau Kristen. Di Napoli, Eropa, ada orang Katholik yang menjadi ketua panitia pembangunan masjid. Di Canberra, Australia, ada pastor yang menyumbang 5.000 buku untuk perpustakaan masjid di sana. Bagaimana kalau itu dibalik dan diterapkan di sini, misalnya kyai membantu pembangunan gereja, apa kita siap untuk itu?” tanya Cak Nun.

Sumber:  KR Jogja

March 5, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

HARIAN JOGJA: Ngayogyakarta Serambi Madinah

Ngayogyakarta Serambi Madinah

HARIAN JOGJA: Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat siap memproklamirkan diri sebagai Ngayogyakarta Serambi Madinah. Konsep ini digadang-gadang akan mendukung keistimewaan DIY. Konsep daerah yang terinspirasi dari Piagam Madinah ini tengah digodok oleh Keraton dan ditargetkan selesai Maret tahun ini. Menurut Keraton, konsep Serambi Madinah ini ke depannya bukan hanya milik umat Islam, melainkan milik seluruh masyarakat Jogja.

“Saat ini kami bersama berbagai elemen sedang membahas secara periodik mengenai konsep Serambi Madinah,” jelas Penghageng Kewedanan Hageng Panitrapura Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat GBPH Joyokusumo.

“Pada prinsipnya, ‘Serambi Madinah’ akan menjadi produk budaya, bukan produk agama. Sehingga serambi merupakan milik mereka yang merasa warga Jogja,” tambahnya, kemarin.

Piagam Madinah yang dibuat pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW diakui sebagai bentuk perjanjian dan kesepakatan bersama bagi membangun masyarakat Madinah yang plural, adil, dan berkeadaban.

Diakui Gusti Joyo, konsep Ngayogyakarta Serambi Madinah dikaitkan dengan Piagam Madinah, yang pada waktu itu disusun masyarakat Madinah saat kepemimpinan Nabi Muhammad SAW melalui proses dialog.

“Butir-butir Piagam Madinah tersebut ada delapan. Lantas kita mencoba menguraikannya dengan kondisi Ngayogyakarta sejak dari masa Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX,’’ katanya.

Digagas MUI
Awalnya konsep Ngayogyakarta sebagai Serambi Madinah telah dideklarasikan secara sepihak oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY, beberapa hari sebelum memasuki Bulan Suci Ramadan tahun lalu.

Lantas Keraton bersama beberapa organisasi masyarakat di DIY membahasnya secara matang. “Mereka yang terlibat adalah organisasi Islam, dan umat beragama lain yang tergabung dalam Forum Komunikasi Umat Beriman (FKUB). Serta, sejumlah kalangan dari perguruan tinggi,” tambah Gusti Joyo.

Piagam Madinah bisa dianalogikan dengan kondisi DIY yang dipenuhi pendatang. “Dan di bawah kepemimpinan Ngarso Dalem Ngayogyakarta suasana bisa tetap kondusif. Konsep Ngayogyakarta Serambi Madinah akan menambah makna keistimewaan DIY yang selama ini sudah terkenal sebagai kota pelajar, pariwisata, dan kota yang betoleransi.”

Ditambahkan adik kandung Sri Sultan Hamengku Buwono X ini, pembahasan konsep Ngayogyakarta Serambi Madinah ditargetkan akan selesai Maret tahun ini. “Sebelum launching, kami akan berkonsultasu dengan Sri Sultan,” katanya.

Posisi Sultan dalam konsep Serambi Madinah, nantinya sebagai ‘patron’. “Beliaulah nantinya yang akan mendeklarasikan. Sekaligus akan memberikan imbauan atau perintah kepada masyarakat. Dalam kaitan produk budaya itu bisa dikembangkan dalam menata masa depan kehidupan di DIY,” kata dia.

Terobosan positif
Sosiolog UGM Ari Sujito berpendapat, konsep Ngayogyakarta Serambi Madinah adalah sebuah terobosan baru untuk mendukung keistimewaan DIY. Apalagi spirit dari konsep tersebut adalah menghargai pluralisme.

Namun Ari menambahkan, konsep Ngayogyakarta Serambi Madinah akan benar-benar mendukung keistimewaan DIY jika dimasukkan dalam draft RUUK. Selama konsep tersebut tidak ada dalam draft RUUK maka hanya akan hadir sebagai wacana.

“Keraton harus mengclearkan konsep ini ke publik serta pemerintah pusat dan lantas diperdebatkan. Dengan harapan bisa dimasukkan dalam draft RUUK,” tambah Ari.

Kesamaan sejarah
MUI memiliki alasan sendiri mengapa mendeklarasikan Ngayogyakarta Serambi Madinah. Ditilik dari segi sejarah, perjalanan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah ternyata memiliki kesamaan dengan kisah bergabungnya Jogja dengan NKRI.

“Muhammad yang berkedudukan sebagai kepala agama sekaligus kepala pemerintahan bersama umat muslim saat itu hijrah dari Mekkah ke Madinah. Keadaan ini serupa dengan keadaan DIY. Waktu dikejar-kejar Belanda, Bung Karno meminta izin Sultan agar bisa melindungi RI, jadi posisi Sultan HB IX sebagai pelindung atau pemberi suaka,” jelas Sekretaris Umum MUI DIY Ahmad Mukhsin Kamaludiningrat saat dihubungi Harian Jogja, tadi malam.

Keadaan Madinah menurut Ahmad juga memiliki kesamaan dengan Jogja yang identik dengan nuansa keragaman. Jogja sebagai miniatur Indonesia memiliki keberagaman agama, budaya, dan suku. Madinah, sebagai sebuah daerah juga memiliki keragaman agama yaitu Kristen, Yahudi dan Islam.

Konsep Nagyogyakarta Serambi Madinah pertamakali diusulkan MUI pada 19 Agustus 2006, dan saat itu proses pembahasan RUUK tengah panas. “Konsep ini lantas dibahas oleh tiga pihak, yakni keraton, Kanwil Depag, dan MUI. Setiap tahun, konsep ini terus disosialisasikan sehingga dikenal masyarakat. Puncaknya, pada 28 September 2009, ketiga pihak menandatangani MoU di Masjid Rejodani [Keraton], isinya sama-sama bertekat menjadikan Jogja sebagai Serambi Madinah,” jelas Ahmad.

Konsep Serambi Madinah untuk DIY lebih ditujukan untuk menjaga dan menghargai keragaman.

Oleh Andreas Tri Pamungkas, Mediani Dyah Natalia, & Laila Rochmatin
Sumber : HARIAN JOGJA

March 5, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Deklarasi Jogja Serambi Madinah oleh Tim Bukhoren Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat

NGAYOGYAKARTA SERAMBI MADINAH

( Identifikasi, Visi dan Semangat)

أعوذ بالله من الشيطان الرجيم

بسم الله الرحمن الرحيم

Definisi

Serambi Madinah adalah sebutan untuk Ngayogyakarta Hadiningrat. Sebutan ini telah merepresentasikan karakter sosial, budaya dan keagamaan yang hidup dan berkembang secara riil, sehingga menggambarkan sosok khittah Ngayogyakarta Hadiningrat yang hakiki.

Ngayogyakarta Serambi Madinah ini bukan partai, bukan ormas dan bukan organisasi apapun juga bukan bagian dari struktur Pemerintah. Ia merupakan sebutan yang terekspresikan dari luapan cita rasa Adhiluhung yang mengental dalam diri masyarakat Ngayogyakarta tentang jatidiri mereka.

Tujuh Identifikasi

Kesamaan Madinah dengan Ngayogyakarta

1.    Sejiwa dengan Piagam Madinah yang berisi penguatan masyarakat plural yang aman dan damai dalam disiplin dan identitas keagamaan yang jelas.

2.    Pusat pengembangan peradaban dengan ilmu pengetahuan dan budaya

3.    Bersatunya kaum Muhajirin (transmigran) dan Anshor (pribumi) yang hakiki,

artinya masyarakat Bhinneka Tunggal Ika dalam kehangatan ukhuwah yang tulus dan sejati.

4.    Kawah candra-dimuka untuk mencetak tokoh-tokoh besar

5.    Tempat perlindungan bagi orang yang teraniaya.

6.    Wilayah pengembangan nilai-nilai tradisional religius.

7.    Karakter masyarakat yang ramah dan sopan.

Delapan Visi Serambi Madinah

1.    Agama adalah anugerah Allah swt untuk membimbing para hamba-Nya agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

2.    Nikmat dan rahmat Allah swt amat banyak telah dilimpahkan pada hamba-Nya, maka haruslah disyukuri dan digunakan untuk hal-hal yang bermanfa’at dan diridhoi-Nya.

3.    Menyadari bahwa kehidupan hari ini adalah kelanjutan dari suatu proses yang telah berjalan panjang, maka di samping menghargai jasa-jasa dan prestasi para pendahulu kita juga harus melanjutkan dan mengembangkannya secara kreatif sebagai amanat amal jariyah.

4.    Menyadari akan keterbatasan setiap manusia maka mewujudkan generasi pelanjut yang lebih berkualiatas adalah suatu keharusan  yang tidak boleh diabaikan.

5.    Untuk mewujudkan kehidupan yang berkualitas, maka kebodohan dan keterbelakangan harus diperangi; oleh karena itu pendidikan mempunyai arti penting yang mutlak, baik pendidikan formal, informal, maupun non formal.

6.    Sebagai masyarakat yang berbudaya Adhiluhung, maka faktor moral dan akhlaqul karimah menjadi bingkai utama yang kokoh dan tegas dalam tatanan kehidupan sehari-hari.

7.    Agar tidak menjadi beban pada pihak lain dan demi menjaga muru’ah (hargadiri), maka jiwa Adhiluhung mengharuskan setiap pribadi memiliki penuh semangat dalam bekerja, berprestasi dan berjasa, tanpa mengabaikan tugas-tugas ritual keagamaannya.

8.    Sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan dalam menunaikan tugas dan kehidupan, maka dalam pergaulan harus saling menghormati, membantu, rukun dan  tenggang rasa.

Sepuluh Semangat Serambi Madinah

1.    Taqwa dalam beragama.

2.    Rukun dan hormat serta gotong royong dalam bermasyarakat

3.    Bersikap ramah dan sopan dalam bergaul.

4.    Hidup dengan landasan ilmu dan penuh ‘amal serta pengabdian

5.    Mewujudkan keluarga yang harmonis dalam mawaddah dan rahmah

6.    Mempersiapkan keturunan (anak cucu) sebagai generasi pelanjut yang lebih berkualitas

7.    Nguri-uri nilai-nilai lama yang bermanfa’at dan mengembangkannya secara selektif, sekaligus kreatif dan innovatif.

8.    Menghargai jasa para pendahulu / leluhur dan meneladaninya, serta menghargai setiap prestasi yang bermanfaat bagi kehidupan.

9.    Membangun karakter dan moral masyarakat dengan amar makruf nahi munkar secara bermartabat.

10.  Etos kerja yang tinggi untuk mencapai prestasi dalam bingkai tawakkal dan do’a.

Di-biwara-kan di Masjid Gedhe Yogyakarta

Tanggal 16 Agustus 2008 / 14 Sya’ban 1429

Tim Bukhoren

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat

GBPH H Joyokusumo

KH Aliy As’ad

HM Afandi, MPd.I

Beberapa Catatan :

a.    Bilangan tujuh (7) untuk identifikasi Kesamaan Madinah dengan Ngayogyakarta, diidentikkan dengan tujuh lapis langit yang disebutkan dalam Al Qur’an ( al. Surat Mulk ayat 3) dan jumlah hari. Juga dimaknakan agar memperoleh kemudahan dalam mencapai tujuan,dan dalam kata jawa disebutkan pitu yang dimaknakan agar memperoleh pitulungan (pertolongan, taufiq), pituduh (petunjuk, hidayah), dan pitutur (nasehat).

b.    Bilangan delapan (8) untuk visi Serambi Madinah, diidentikkan dengan jumlah para pejuang Ashabul Kahfi yang disebutkan dalam Al Qur’an (Surat Al Kahf ayat 22), jumlah butir do’a dalam duduk di antara dua sujud shalat, dan jumlah pintu sorga yang dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad saw. Karena itu visi ini mengandung semangat perjuangan yang tidak kenal padam untuk mencapai kesejahteraan dunia dan ridho Allah di sorga kelak.

c.    Bilangan sepuluh (10) untuk semangat Serambi Madinah, diidentikkan dengan kesempurnaan angka 10 yang disebutkan dalam Al Qur’an (Surat Al Baqarah ayat 196), dan bilangan 10 dimaknakan kembali ke nol yang berarti kembali pada kesucian yang fitri, juga lahirnya Serambi Madinah pada periode Sultan HB yang kesepuluh. Terkandung maksud suatu harapan semoga bersama kepemimpinan Sultan HBX ini masyarakat Serambi Madinah dapat menggapai kebahagiaan yang sempurna karena segala sepak terjangnya selalu dilandasi dengan kesucian hati yang fitri.

March 5, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Yogyakarta Siap Menjadi Serambi Madinah

Yogyakarta Siap Menjadi Serambi Madinah

Yogyakarta dibangun dengan konsep pesantren besar dan berbasis pada ke khalifahan.


Wacana untuk menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai Serambi Madinah kian menguat. Provinsi tersebut dinilai layak menjadi Serambi Madinah, karena faktor sejarah. Guna mewujudkan DIY sebagai Serambi Madinah, diperlukan penguatan dalam bentuk peraturan daerah (perda), sekaligus untuk menguatkan keistimewaan Yogyakarta.

“Konsep untuk mewujudkan DIY sebagai Serambi Madinah sudah ada. Dalam waktu dekat ini, Keraton Ngayogyakarta juga akan mengadakan sarasehan untuk , mematangkan konsep tersebut,” ungkap Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY, Muhammad Jazir di sela-sela Semiloka Optimalisasi Pengelolaan Masjid di Yogyakarta, Sabtu (26/12).Menurut Jazir, konsep untuk menjadikan DIY sebagai Serambi Madinah, semata-mata ditujukan untuk mengembalikan jati diri Yogyakarta sesuai dengan konsep awal pembangunan wilayah tersebut. “Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi I dengan konsep pesantren besardan bukan mengatasnamakan kekuasaan tetapi berbasis pada kekhalifahan,” paparnya. Dengan demikian, lanjut

Jazir, perwujudan DIY sebagai Serambi Madinah akan mampu mendukung keistimewaan DIY.Sehingga keistimewaan tersebut, papar dia, tidak hanya dimaknai dalam masalah pemilihan atau penetapan gubernur saja, tetapi lebih kepada cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Menurut Jazir, perwujudan DIY sebagai Serambi Madinah tak harus dimaknai dengan pelaksanaan syariat Islam yang saklek, tetapi lebih kepada pengertian aplikatif bukan dalam arti formalistik tetapi berbasis peradaban.Melalui perwujudan DIY sebagai Serambi Madinah tersebut, papar dia, masyarakat Yogyakarta diharapkan dapat memiliki peluang lebih besar untuk mengaplikasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pihaknya optimistis, perwujudan DIY sebagai Serambi Madinah tersebut tidak akan menimbulkan konflik baru di masyarakat, mengingat masyarakat Yogyakarta yang plural.

“Saya yakin, umat lain akan paham dan menerima, karena di dalam masyarakat dengan kaum Muslim sebagai mayoritas, maka umat minoritas akan terlindungi,” tutur Jazir menegaskan.Salah satu cara untuk mewujudkan DIY sebagai Serambi Madinah adalah penguatan fungsi masjid di masyarakat, khususnya dalam penyampaian dakwah. “Harus ada strategi khusus untuk menjadikan dakwah memiliki daya tarik dan kontekstual dengan marketing yang tepat,” papar Wali Kota Yogyakarta, Herry Zudianto yang menjadi pembicara dalam semiloka tersebut.

Dengan demikian, lanjutnya, masjid berfungsi menjadi pusat pencerahan kepada masyarakat, sehingga konsep untuk DIY sebagai Serambi Madinah dapat diwujudkan. Penguatan masjid pun, menurut Herry, dapat dilakukan dengan kemitraan antar-masjid, khususnya dalam manajemen. “Dengan manajemen yang terintegrasi, isu yang digulirkan pun akan menjadi lebih besar dan mengena di masyarakat,” ujarnya.

Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa, red) adalah nama yang diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727) sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati. Yogyakarta berarti Yogya yang kerta, Yogya yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berarti Yogya yang makmur dan yang paling utama.Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana. Dalam penggunaannya sehari-hari, Yogyakarta lazim diucapkan Jogja(karta) atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa).

Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di zaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschapperi. Di zaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja.Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II)  kemudian bergelar Adipati Paku Alam I

March 5, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

MASJID GEDHE JOGJAKARTA

MASJID GEDHE  JOGJAKARTA

Masjid Gedhe Jogjakarta adalah masjid tertua yang dibangun oleh Kerajaan Islam Ngayogyokarto Hadiningrat atau Kasultanan Jogjakarta. Masjid Gedhe dibangun setelah Sri Sultan Hamengku Buwana I selesai membangun kraton baru, sebagai pusat pemerintahan baru hasil dari perundingan Giyanti (13-Februari- 1755 ). Perundinganm Giyanti merupakan penyelesaian akhir konflik internal Kerajaan Mataram akibat intervensi Belanda, sehingga Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, yaitu Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat.

Sri Sultan Hamengku Buwana I sebelum jadi raja, ia seorang muslim yang taat mengerjakan sholat, puasa wajib dan puasa senin-kamis. Selain itu, ia juga pemberani dalam ber-amarmakruf-nahi mungkar membersihkan kemaksiatan, menegakkan keadilan dan kebenaran, serta melawan penjajahan. Ketika perang gerilya melawan Belanda, ia mumbuat pos-pos strategis untuk pasukannya dilengkapi dengan Mushola. Oleh karena itu, maka ketika Sri Sultan Hamengku Buwana I jadi raja, maka di samping membangun keraton ia pun juga mengutamakan membangun masjid jamik, sebagai sarana ibadah raja bersama rakyatnya. Dengan demikian, maka pada tahun 1773 M, Sri Sultan Hamengku Buwana I berhasil membangun masjid yang diberi nama awal dengan Masjid Gedhe, kemudian masjid itu dikenal pula dengan nama Masjid Agung, dan Masjid Besar, pada akhir ini ditetapkan sebagai Masjid Raya Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun letak Masjid Gedhe di sebelah barat laut Kraton Jogjakarta, juga di barat Alun-alun Jogjakarta.

Dalam rangka memakmurkan Masjid Gedhe, kepengurusannya dipegang oleh Penghulu Kraton, dibantu oleh Ketib, Modin, Merbot, dan Abdi Dalem Pamethakan serta Abdi Dalem Kaji Selusinan dan Abdi Dalem Barjamangah. Mereka itu sebagian ditempatkan di lingkungan sekitar Masjid Gedhe, yang kemudian berkembang menjadi sebuah kampung bernama Pakauman ( tempat para Kaum = Qoimmuddin = Penegak Agama ). Dengan demikian Masjid Gedhe menjadi makmur, sebagai pusat berjama’ah dan juga menjadi pusat pengkajian serta pengadilan agama Islam di Jogjakarta.

Tulisan ini menyajikan sejarah ringkas Masjid Gedhe, yang di dalamnya juga dikenalkan berbagai kelengkapan dan fungsinya yang unik salah satu masjid kerajaan di Jawa, Indonesia.

II. SEJARAH SINGKAT MASJID GEDHE KAUMAN JOGJAKARTA

Mesjid Gedhe Jogjakarta merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dengan Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat, yang didirikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I Senopati ing Ngalogo Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ing Ngayogyokarto. Masjid Gedhe didirikan pada tanggal 29 Mei 1773 ( dalam prasasti : Pada hari Ahad Wage, 6 Robiul’akhir tahun Alip, sengkalan :“GAPURA TRUS WINAYANG JALMA” ( 1699 Jw.=1187 H=1773M)
Pemrakarsa adalah Sultan dan Kyai Penghulu Faqih Ibrahim Diponingrat, sedangkan sebagai arsiteknya yang terkenal waktu itu Kyai Wiryokusumo.

Oleh karena jamaahnya melimpah, maka pada tahun 1775 dibangunlah Serambi Masjid Gedhe ( didirikan pada: Hari Kamis Kliwon, tanggal 20 Syawwal tahun Jimawal, sinengkalan “ YITNO WINDU RESI TUNGGAL”=1701 Jw. Atau “TUNGGAL WINDU PANDITO RATU”= 1701 Jw.= 1189 H= 1775 M ). Serambi Masjid Gedhe selain dipakai untuk sholat, juga difungsikan sebagai “AL MAHKAMAH AL KABIROH”, yaitu sebagai pertemuan Alim Ulama, Pengajian Dakwah Islamiyah, Mahkamah untuk Pengadilan masalah keagamaan, pernikahan, perceraian, dan pembagian waris. Selain itu juga untuk peringatan hari-hari besar Agama Islam.

Selain Serambi, dibangun pula ”PAGONGAN” ( Pa= tempat, Gong= salah satu instrumen alat musik Jawa Gamelan), letaknya di halaman masjid, di dua tempat yaitu sudut kiri dan sudut kanan halaman. Tempat ini digunakan sebagai tempat peralatan dakwah dengan pendekatan kultural yaitu Gamelan Sekaten, yang dibunyikan pada setiap peringatan Maulid nabi Muhammad Saw. Instrumen musik Gamelan Sekaten ini sangat terkenal dan punya daya tarik pada masyarakat untuk mengenal dan kemudian memeluk agama Islam dengan sukarela. Nama SEKATEN sendiri berasal dari kata ”SYAHADATTAIN” yang berarti dua kalimah syahadat.

Pada tahun 1840 dibangun REGOL MASJID yaitu pintu gerbang yang dikenal sebagai GAPURO, berasal dari kata ”ghofuro” ampunan dari dosa, adapun maksudnya mungkin bila orang memasuki masjid melewati Gapuro, berniat baik memasuki Islam, akan mendapatkan ampunan dosa. Pembangunan regol ini dilakukan pada hari Senin, tanggal 23 Syuro tahun Dal, sengkalan ”PANDITO NENEM SEBDO TUNGGAL” = 1767Jw.=1255 H = 1867 M.

Pada tahun 1867 di Jogjakarta terjadi gempabumi yang cukup dahsyat, yang akibatnya termasuk runtuhnya bangunan Serambi Masjid Gedhe, dan bahkan juga membawa korban termasuk Kyai Pengulu yang menjabat pada saat itu. Peristiwa LINDU atau gempabumi itu tercatat pada prasasti yaitu pada hari Senin Wage, pukul 5 pagi, tanggal 7 Sapar tahun Ehe, sengkalan ”REBAHING GAPURA SWARA TUNGGAL” = 1796 Jw.=”WARNA MURTI PAKSA NABI” 1284 H = 1867 M. Namun tidak lama kemudian Sri Sultan Hamengku Buwana VI memberikan kagungan dalem ”SURAMBI MUNARA AGUNG” yang sedianya akan dipakai untuk bangunan pagelaran, kemudian ditempatkan sebagai Serambi Masjid Gedhe. Pemasangannya menurut prasasti ialah : pada hari Kamis Kliwon, pukul 09 pagi, tanggal 20 Jumadilakhir tahun Jimawal”PANDITA TRUS GIRI NATA”= 1797 Jw.”GATI MURTI NEMBAH HING HYANG”= 1285 H = 1868 M. Serambi Masjid Gedhe yang baru ini luasnya dua kali lipat dari serambi sebelumnya yang roboh, serambi yang baru masih utuh sampai kini.

Pada tahun 1917 dibangun gedung PAJAGAN ( Pa= tempat, Jaga = berjaga keamanan ), yang terletak di kanan kiri regol masjid, memanjang ke utara dan ke selatan. Gedung ini digunakan untuk para Prajurit Kraton ( tentara Kraton ), untuk keamanan masjid dan setiap hari besar Islam. Pada zaman Revolusi Perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia, gedung Pajagan ini digunakan untuk pusat MARKAS ULAMA ASYKAR PERANG SABIL (MU-APS)yang membantu TNI melawan Agresi Belanda.

Pada tahun 1933 atas prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwana VIII, lantai serambi masjid yang tadinya dari batu kali diganti dengan tegel kembangan yang indah. Selain itu pula diadakan penggantuian atap masjid, dari sirap diganti dengan seng wiron yang tebal dan lebih kuat. Pada tahun 1936 atas prakarsa Sultan Hamengku Buwana VIII pula diadakan pergantian lantai dasar masjid, yang dulunya dari batu kali kemudian diganti dengan marmer dari Italia.

Pada zaman kemerdekaan Republik Indonesia, Masjid Gedhe juga mendapat perhatian dari pemerintah, yaitu diadakan renovasi dan berbagai bentuk pemeliharaan secara bertahab hingga sampai kini.

III. TATA RUANG MASJID GEDHE KAUMAN JOGJAKARTA

Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta berbagunan itu tradisional Jawa, yaitu beratap tumpang tiga, dengan mustaka menggambarkan daun kluwih dan gadha. Arti makna atap tumpang tiga ialah tahapan kehidupan manusia dari Hakekat, Syari’at, dan Ma’rifat, kemudian makna daun kluwih adalah Linuwih= punya kelebihan yang sempurna, dan Gadha berarti tunggal= menyembah Tuhan Yang Maha Esa, makna keseluruhan ialah bila manusia sudah sampai Ma’rifat, hanya menyembah kepada Allah Swt. yang Tunggal ( taukhid ), maka manusia itu punya kelebihan kesampurnaan hidup. Dengan demikian siapa saja yang ikhlas ke masjid untuk ibadah kepada Allah Swt., maka akan selamat dunia akhiratnya.

Ruang Utama
Adalah ruang inti masjid yang letak lantainya paling tinggi sebagi ruang untuk ibadah sholat terutama rowatib. Ruang inti ini dilengkapi dengan PANGIMAMAN ( tempat imam memimpin sholat /MIHRAB)
MAKSURA ( tempat pengamanan sholat raja ) letaknya di samping kiri
belakang mihrab, terbuat dari kayu jati bujur sangkar, beram
kotak-kotak, di samping kanan dan kiri terdapat tempat tombak
dan di dalamnya berlantai marmer lebih tinggi dari yang di luar.
Apabila Sultan berkenan sholat berjamaah di Masjid Gedhe, ia
Mengambil tempat di dalam Maksura tersebut.
MIMBAR (tempat khotib menyampaikan khotbah jum’at ), terletak di
sebelah kanan belakang mihrab. Mimbar dibuat dari kayu jati
berhiaskan ukiran indah bentuk ornamen stilir tumbuh-tumbuh-
an dan bunga di prada emas. Kewibawaan mimbar ini bagaikan
singgasana berundak.
SHAF SHOLAT, ialah garis yang mengatur jamaah sholat agar mengarah
ke arah kiblat, dan lurus serta rapi. Pada mulanya arah sholat
lurus ke barat, namun setelah adanya perkembangan ilmu pe-
ngetahuan, ternyata arah kiblat (Ka’bah) agak serong keutara,
maka oleh KHA Dahlan dipelopori buat garis shof ke arah kiblat
yang sebenarnya.

2. Pawestren adalah ruangan khusus untuk sholat jama’ah kaum perempuan,
tempatnya di sebelah selatan bangunan inti masjid.

3. Yatihun adalah ruangan khusus untuk istirahat para ulama, khotib, dan mer-
bot. Selain itu juga digunakan untuk musyawarah membicara-
kan persoalan agama. Tempat ini di samping utara inti masjid.

4. Blumbang ( kolam ), pada awalnya Masjid Gedhe ini dilengkapi kolam me-
lingkar di muka Serambi. Kolam ini lebarnya lebih kurang 8
meter, dengan kedalaman 3 meter, yang berfungsi untuk ber-
suci dan ber wudlu sebelum masuk masjid. Namun pada saat
sekarang ini kolam sekedar hiasan, yang lebarnya tinggal 2
meter, dan dalamnya hanya 0,75 meter melingkar dimuka se-
rambi.

5. Serambi ( beranda ) terletak di sebelah timur bagunan inti masjid, sebagai
tempat sholat bila jama’ah dalam masjid inti penuh. Selain itu
juga digunakan sebagai tempat da’wah, pengajian, serta di-
fungsikan sebagai Mahkamah Al Kabiroh. Bila bangunan inti
masjid tidak glamour, tiangnya tanpa dicat, dan sedikit sekali
ragam hiasnya, sedangkan di serambu terkesan glamour se-
mua tiangnya di cat, terdapat berbagai ragam hias yang dicat
warna-warni dan diprada emas. Pada tiang serambi terdapat
kaligrafi ” Ar Rahmaan” dan ” Muhammad” yang diujudkan
bentuk stilir tumbuh-tumbuhan. Atap serambi bentuk limasan.

6. Benteng Masjid ialah bangunan tembok melingkari masjid. Benteng bagian
muka agak pendek, dan seriap gerbang masuk masjid di ka –
nan kiriya ada hiasan ” Buah Waluh” yang maknanya menye
but nama Allah Swt. Supaya selalu ingat pada Allah Swt.
7. Pasucen ialah tempat permulaan suci, letaknya memanjang ke timur, di muka
bagian tengah serambi ke arah timur ( seperti doorlop ) menga-
ke regol. Ini sebagai jalan utama Sultan masuk masjid Gedhe.

8. Pagongan ada dua bangunan di kanan dan kiri bagian dalam plataran masjid
Pagongan ini tempat Gamelan Sekaten yang dibunyikan setiap
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Yang diadakan oleh
Sri Sultan bersama rakyatnya.

9. Pajagan adalah tempat prajurit kraton berjaga keamanan masjid. Gedung ini
terletak memanjang di kanan kiri Gapura. Pada saat ini diguna-
untuk perpustakaan masjid dan tempat pertemuan.

10. GAPURA ( REGOL) adalah pintu gerbang utama memasuki kompleks mas-
jid. Bentuk gapuro iniadalah Semar Tinandu. Melalui gapura
ini para ulama meng-Islamkan masyarakat yang hendak me-
lihat dan mendengarkan bunyi gamelan di plateran masjid.

IV. Aktivitas Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta

a. Aktivitas rutin setiap Jum’at untuk Sholat Jum’at, kapasitas masjid seka-
rang ini sudah penuh, sampai diluar serambi.
b. Pengajian : 1. Khusus Bahasa Jawa ( setiap habis subuh hari sabtu )
2. Tafsir Al Qur’an ( setiap malam Ahad )
3. Remaja Masjid ( setiap Ahad pagi )
4. Antara Maghrib & Isya’ ( setiap malam Jum’at )
5. Tafsir Kitab Kuning ( setiap malam Sabtu )
c. Peringatan Hari Besar Islam
d. Romadlon : 1. Sholat Tarowih dua kali, sehabis Isya’ dan menjelang sahur
2. Tadarus Al Qur’an dan terjemahannya
3. Takjilan buka bersama untuk 600 orang setiap hari
4. Iktikaf,
5. Kajian Ahad Pagi, dan sebagainya.
e. Insidental : Untuk kegiatan sosial, politik , kebudayaan dan sebagainya,
seperti Do’a bersama dan Sholat Lail untuk perjuangan Islam,
baik pada zaman Jepang, Revolusi pisik mempertahankan RI,
perjuangan amar makruf nahi mungkar untuk perbaikan dan
perubahan pemerintahan ( zaman penumbangan orde lama,
zaman reformasi penumbangan orde baru, dan sebagainya.
Beberapa kegiatan menerima tamu dari luarnegeri dan dalam
Negeri.
Kegiatan pengIslaman bagi orang yang sadar masuk Islam.
Kegiatan upacara pernikahan dan walimatu urusy, dan juga
Upacara menghantarkan jenzah.

March 5, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

MENEMUKAN KEMBALI AKAR BUDAYA JOGJAKARTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

MENEMUKAN KEMBALI
AKAR BUDAYA JOGJAKARTA
DALAM PERSPEKTIF ISLAM

OLEH : A. ADABY DARBAN

AHMAD ADABY DARBAN,tinggal di Kauman Jogjakarta (55122).Pada hari Senin s/d Jumat nongkrong di Jurusan Sejarah FIB UGM
MUQADIMAH

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Berbicara Kebudayaan,C.Kluckhohn dan L.Koerber telah mengumpulkan
160 difinisi, yang kesemuanya memiliki muara dan titik temu bahwa Kebudayaan itu adalah man made atau ciptaan/produk dari kreativitas manusia. Dengan demikian itu perlu disadari bahwa diskusi ini adalah membicarakan “Akar Budaya Jogjakarta” dalam arti hasil kreativitas masyarakat Jogjakarta dalam menghadapi tantangan dan perjalanan hidupnya. Oleh karena itu akan dapat dilihat dinamika dan proses dialogis yang panjang dari berbagai unsur yang mempengaruhinya, sehingga akan membentuk sebuah kontruksi budaya Jogjakarta, atau lebih lanjut dikenal sebagai Budaya Jawa.

Dalam makalah pendek ini akan berusaha untuk menelusuri dalam rangka mencari unsur-unsur Islam yang mewarnai Kebudayaan Jogjakarta. Sebelumnya perlu disadari bahwa masuknya ajaran Islam dalam Kebudayaan Jogjakarta melalui suatu dinamika dan proses yang panjang. Oleh karena perkembangan kebudayaan itu melalui sebuah proses, maka tidak dapat dilihat secara hitam-putih atau kemutlakkan. Bahkan sampai kini proses itu pun belum selesai, masih terus bergulir, tergantung oleh para pelaku dan para pejuang yang mengiginkan ajaran Islam secara mantab mewarnai budaya Jogjakarta. Perjuangan untuk menanamkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan budaya masyarakat Jogjakarta ini, kalau tidak berlebihan dapat dikatakan sebagai Jihad bit -Tsaqofah.

Oleh karena itu, usaha untuk menemukan kembali Akar Budaya Jogjakarta dalam prespektiv Islam ini, tidaklah berhenti hanya sekedar mengaguminya,namun lebih dari itu menyambung dan mengisi kembali ajaran Islam dalam kehidupan budaya Jogjakarta dimasa kini dan masa yang akan datang dengan lebih mantab.

Bila ditelusuri secara mandalam, akar budaya Jogjakarta memiliki hubungan yang sangat panjang, yaitu sejak Kerajaan Demak, Pajang, dan
Mataram Islam. Pada makalah dibatasi mulai dari berdirinya Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat, dan dengan pendekatan historis.
ISLAM DI KRATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

Membicarakan Akar Budaya Jogjakarta tidak dapat dipisahkan oleh keberadaan Kraton (Kerajaan) Ngayogyakarta Hadiningrat sebagi pusat sekaligus pengembang dan penjaga budaya Jogjakarta/ Kebudayaan Jawa,
Kerajaan Ngayogjakarta Hadiningrat ( lebih lanjut disebut Kraton Jogja ) adalah pewaris syah Kerajaan Mataram Islam. Nilai dasar atau Ruh Kraton Jogja adalah Islam, oleh karena itu kunci untuk mengungkap Kraton Jogja adalah dengan ajaran Islam ( menurut GBPH Joyokusumo ).
Ajaran yang berupa Hakikat, Syari’at, dan Ma’rifat Islamiyah diusahakan berjalan dengan menggunakan simbol-simbol dan pendekatan budaya Jawa.

Dilihat dari sejarahnya, P. Mangkubumi pendiri Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat, adalah putera Amangkurat IV, yang pengamalan Islamnya kuat. Sholat lima waktu tidak pernah ditinggalkan, gemar mengaji bahkan hafal sebagian ayat-ayat Al Qur’an, dan melakukan puasa Senin dan Kamis, serta peduli pada fakir miskin, kaum yang lemah di pedesaan. Pada masa mudanya terkenal berani ber amar makruf nahi mungkar untuk melawan segala bentuk kemaksiyatan, baik di lingkungan istana maupun juga di pedesaan ( Serat Cebolek ).

Ketika perang melawan Kedloliman penjajah Belanda, P. Mangubumi selalu membuat Mushola di pos-pos pasukannya di pedesaan. Mushola itu difungsikan untuk jama’ah sholat fardlu, juga untuk menyolatkan para syuhada’ yang gugur dalam perjuangan ( Babad Giyanti ).

Setelah Perjanjian Giyanti ( 1755 ) ditandatangani, P. Mangubumi diberi hak untuk mendirikan kerajaan baru bagian dari “ Palihan Nagari Mataram”, maka didirikanlah Karajaan Ngayogyakarta Hadiningrat, ia sebagai raja dengan gelar “ Sri Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatulah ing Ngayogyakarta”. Kerajaan baru ini ditetapkan sebagai kerajaan Islam, yang meneruskan tradisi kerajaan Mataram Islam. Simbol-simbol yang memiliki makna keIslaman dicantumkan dalam bangunan pisik maupun karya sastra.

Sebagai kerajaan Islam Kasultanan Jogjakarta menghidupkan syari’at Islam, yaitu antara lain menjalankan hukum Islam dengan membuat : “Mahkamah Al Kabiroh” di serambi Masjid Gedhe Kauman, disamping mumbuat masjid karajaan ( Masjid Gedhe ), juga membuat Masjid Pathok Negara ( batas negara agung/ ibukota ) dilengkapi dengan tanah perdikan untuk pesantren. Dibangun pula Masjid Panepen ( untuk I’tiqaf Sultan, letaknya di dalam kraton ), dan Masjid Suronoto untuk sholat para abdi dalem ( letaknya di Keben ). Selain masjid, dalam struktur kraton juga terdapat pejabat yang mengurusi perkembangan agama Islam, yang dikepalai oleh Penghulu Kraton, dibantu Kaji Selusinan dan para Ketib.

Kraton Jogjakarta juga masih terus menghidupkan upacara-upacara yang bernafaskan Islam, antara lain “ Sekaten”dan Grebeg Mulud ( untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.); Grebeg Syawal dan Silaturahmi Sultan dengan Rakyat ( menyambut Idul Fitri ); Grebeg Besar ( memperingati hari raya Idul Adha ), tidak lupa sultan juga membagikan Zakat Fitrah dan Hewan Qurban.

Keturunan sultan (raja), yaitu Sentana nDalem bila akan menikah harus dengan sesama muslim. Pernikahan dan pembagian hukum waris di kraton juga dengan Hukum Islam. Di dalam lingkungan beteng kraton (nJeron Beteng) tidak boleh ada warga asing China, dan tidak dibolehkan berdiri tempat ibadah kecuali hanya Masjid ( sumber Rijksblad ).

Pada awalnya Setiap Jum’at Kliwon Sultan Khutbah di Masjid Gedhe, dan juga tidak dilarang ibadah Haji. Namun setelah adanya Java Oorlog (perang Jawa/ P. Dipanegara ), maka Belanda membuat peraturan ketat kepada Sultan Jogjakarta yang dinilai patriotik melawan Belanda dan membantu P. Dipanegara dari belakang. Pihak Belanda mencurigai bahwa semangat patriotik melawan Belanda itu ada pengaruh dari Ibadah Haji di Asia Barat, sehingga dilarang untuk melaksanakan Ibadah Haji bagi Sultan Jogjakarta. Selain itu Sultan juga dibatasi untuk sholat di Masjid Gedhe, tidak boleh Khurbah, dalam rangka memisahkan silaturahmi dan kharisma dengan rakyatnya. Terhadap karya tulis resmi kerajaan mendapatkan sensor ketat, sehingga mematikan kreativitas para pujangga kraton. Yang lebih membelenngu sultan ialah, untuk pemerintahan harian harus didelegasikan kepada Patih ( yang digaji dan mendapat pengaruh Belanda ).

Selain itu Belanda mulai memasukkan pengaruhnya ke dalam kraton, dengan melalui pendidikan, seperti Sekolah Taman ( Gurunya orang-orang Belanda ); Memasukkan para Suster Rumah sakit Belanda untuk merawak keluarga sultan. Pihak penguasa Belanda juga meminta tanah milik kraton di luar benteng untuk didirikan antara lain Rumah Sakit, Biara, Gereja, dan Sekolah-sekolah Nasrani di Jogjakarta. Pada waktu itu posisi sultan lemah, sehingga tidak dapat menolak. Oleh karena itu, pada era pemerintahan HB V sampai dengan HB VII, kegiatan ke –Islaman kraton agak kurang terang-terangan, sehingga banyak dimunculkan dengan simbol-simbol yang dibungkus dengan budaya Jawa.
ISLAM DALAM BUDAYA JOGJAKARTA

Ada dua kaidah dasar dalam kehidupan masyarakat Jawa, yaitu :
Pertama Prinsip RUKUN, yaitu untuk mewujudkan dan mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis, yaitu tenang, selaras, tenang, dan tentram, bersatu saling membantu. Kedua Prinsip HORMAT, memainkan peran yang besar dalam mengatur pola interaksi sosial masyarakat Jawa.( baca: Cliford Geertz,The Religion of Java )

Selain dua kaidah dasar, masyarakat Jawa termasuk Jogjakarta memiliki beberapa nilai yang menjadi pegangan dalam kehidupannya, yaitu antara lain :
Nrimo : mensyukuri kepada apa yang telah diperoleh, dan jika terjadi sesuatu halangan setelah diusahakan, maka mereka nrimo atau pasrah kepada Allah, menyadari bahwa itu sudah menjadi kehendaknya ( “nrimo ing pandum”).
Dalam ajaran Islam sikap mensyukuri karunia dari Allah SWT. merupakan kewajiban bagi seorang hamba, dan Allah SWT. akan memberikan berkah karunia yang lebih banyak di masa mendatang.

Sabar : “sing sabar-subur”, artinya orang yang sabar itu akan mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan. Dalam menyelasaikan masalah tidak boleh gegabah, dalam mengusahakan sesuatu tidak “ “nggege mangsa”, menurut prosedur yang benar, dilakukan dengan penuh kesabaran. Ajaran tentang sabar ini jelas berasal dari ajaran Islam.

Gotong Royong: adalah nilai kebersamaan yang saling peduli, saling bantu membantu dalam meringankan beban dalam kehidupan bermasyarakat. Gotong Royong ini juga terdapat dalam ajaran Islam yang menganjurkan untuk “ Bertolong-tolonglah kamu dalam perbuatan baik berdasarkan Taqwa “

Taqwa: dalam masyarakat Jawa, taqwa merupakan pakaian dalam kehidupan, yaitu diajarkan dekat dengan Allah SWT. dengan menta’ati perintah dan menjauhi laranganNya. Taqwa ini disimbolkan dengan Baju
Takwo.

Rembug Bareng : di dalam memutuskan sesuatu yang mengandung harkat, kepentingan orang banyak, maka selalu diadakan Rembug Bareng, sering juga disebut Rembug Desa. Hal ini mengingatkan kita pada ajaran Islam “ Musyawarah”, untuk memutuskan sesuatu sehingga akan mendapatkan wawasan dan keadilan.

Tepa-Slira : adalah memahami dan menghormati perasaan orang lain, dalam rangka menjaga persaudaraan, dan menjauhkan dari segala macam konflik. Dalam Ajaran Islam manusia diharapkan untuk Tafahum atau saling memahami dalam perbedaan, diharapkan akan dapat saling menjaga diri dari perpecahan.

Ojo Dumeh : dilarang berbuat kibir (takabur/Sombong), dan merendahkan orang lain. Larangan Takabur-Sombong ini dalam ajaran Islam jelas sangat ditekankan kepada umat.

Masih banyak beberapa sifat budaya Jogjakarta/Jawa yang memiliki nafas yang sama dengan ajaran Islam. Ajaran Islam yang sudah lama dikembangkan dalam masyarakat Jogjakarta, memiliki andil yang besar dalam mewarnai kehidupan berbudaya. Hanya dalam penampilannya banyak yang dibungkus dengan istilah Jawa.

BUDAYA SENI

Budaya berwujud Seni yang mendapatkan nafas Islam di Jogjakarta ini dapat dilihat antara lain pada : Seni Sastra, seperti Serat Muhammad, Serat Ambiya’, Serat Tajus Salatin, dan sebagainya. Seni Suara, seperti Macapat, Langen Swara, Slawatan, dan sebagainya. Seni Lukis, seperti kaligrafi di bangunan kraton dan masjid. Seni Musik, seperti Gamelan Sekaten. Seni Pedalangan, seperti dimunculkannya Wayang Sadat, Episode Dewa Ruci dan Jimat Kalimasada, serta tokoh Punokawan dalam pewayangan, san sebagainya.

Dalam seni pengaturan negera ( berpolitik ), pejabat negara mendapatkan status sebagai “ Pamong” sama dengan “Pangon” yang artinya penggembala. Makna yang terkandung di dalamnya ialah, pejabat negara adalah pelayan umat, yang melindungi, menngusahakan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, zaman dulu tidak menggunakan kata “ Pemerintah”, yang lebih berkonotasi “ Tukang Perintah “, kemudian berdampak justeri minta dilayani rakyat dengan perimntah-perintahnya. Sesungguhnya istilah Pamong lebih tepat, dan selaras dengan ajaran Islam, yaitu RO’IN, yang artinya penggembala atau yang mengelola.

Demikian sedikit tentang Usaha menemukan kembali Akar Budaya Jogjakarta dalam Perspektif Islam. Apa yang disampaikan ini masih sangat terbatas dan bagian kecil dari seluruh akar budaya Jogjakarta yang bernafaskan Islami. Kiranya perlu dikembangkan dengan penelitian lebih lanjut dikemudian hari. Alhamdulillaahi robbil’alamiin.

March 5, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Kehidupan Masyarakat Jogja yang Islami

Kehidupan Masyarakat Jogja yang Islami

Daerah Istimewa Yogyakarta yang secara geografis terletak di bagian selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah utaranya merupakan salah satu kesultanan Islam yang ada di Indonesia, yakni Kesultanan Mataram. Kesultanan Mataram yang dimaksud adalah kerajaan Islam yang dibangun pada abad ke-16 yang menurut silsilah berasal dari kerajaan Islam Demak. Ketika itu Kerajaan Demak dipindahkan ke Pajang di bawah pimpinan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya. Setelah Pajang jatuh, kerajaan Islam itu di pindahkan ke Mataram oleh Raden Sutawijaya yang bergelar “Senopati Ing Ngalogo Abdurrakhman Sayidina Panotogomo Khalifatullah Tanah Jawi” (Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama). Wilayah kekuasaan Mataram kala itu meliputi Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur.

Jogja, seperti juga daerah lainnya di tanah Jawa, sebelum masuknya Islam dikenal sebagai wilayah yang penduduknya beragama Hindu dan Budha. Perbedaan status dalam kasta-kasta mewarnai kehidupan masyarakat kala itu, yang terbagi dalam kasta Brahma, Ksatria, Waisya dan Syudra. Ritual keagamaan, paham, mistisisme legenda menyertai interaksi di antara mereka.

Masuknya Islam sebagai sebuah ajaran baru perlahan mempengaruhi kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Jawa, khususnya Jogja. Wali Songo, utamanya Sunan Kalijaga (Raden Said), merupakan tokoh sentral dalam pembentukan masyarakat Islam di Jogja. Keberadaan Wali Songo dalam khasanah perkembangan Islam di Indonesia ternyata menjadi catatan penting yang menunjukkan adanya hubungan antara negeri Nusantara dan Kekhilafahan Islamiyah, yang kala itu di pimpin oleh Sultan Muhammad I (808H/1404M), yang juga dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau Celebi dari Kesultanan Utsmani. Wali Songo memberikan pengaruh yang sangat besar kepada kesultanan-kesultanan yang muncul di Indonesia, termasuk Kesultanan Mataram di Yogyakarta.

Mengutip catatan Adaby Darban, dalam Sejarah Kauman. Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, pada masa kekuasaan Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana I), dibangunlah Keraton Yogyakarta pada 9 Oktober 1775 M. Keraton menjadi simbol eksistensi kekuasaan Islam, meski berada dalam penguasaan Belanda. Sebagaimana kerajaan Islam di Jawa sebelumnya, seperti Demak, Jipang, Pajang, setiap keraton memiliki masjid dan alun-alun. Masjid inilah yang nantinya memegang peranan penting dalam membangun kebudayaan Islam, termasuk dipergunakan oleh sultan untuk berhubungan dengan para bawahannya dan masyarakat umum.

Pendirian masjid yang kemudian diberi nama Masjid Agung ini dilengkapi dengan bangunan yang memiliki kefungsian khusus. Serambi masjid yang diberi nama “Al-Mahkamah Al-Kabirah”, yang berarti mahkamah agung berfungsi sebagai tempat pengadilan, pertemuan para ulama, pengajian, peringatan hari besar Islam dan pelaksanaan ijab kabul; di samping tempat untuk menyelesaikan berbagai persengketaan yang terjadi di kehidupan masyarakat.

Untuk urusan keagamaan, dibentuklah lembaga kepenguluan sebagai Penasihat Dewan Daerah sekaligus menjadi bagian birokrasi Kerajaan. Mereka adalah orang-orang alim tentang Islam yang mengatur semua kefungsian masjid. Di antaranya adalah pendidikan. Melalui pondok pesantren yang ada di masjid maupun langgar-langgar, proses pembentukan masyarakat Islam dilakukan. Tidak jarang putra-putri mereka dikirim ke Pondok Pesantren terkenal seperti Termas, Tebuireng dan Gontor, yang sepulangnya dari sana akan menjadi ulama-ulama penerus kepenguluan di Keraton Yogyakarta. Hal ini menggambarkan bagaimana peran Kerajaan (tepatnya Kesultanan) dalam melakukan proses pendidikan Islam kepada rakyatnya.

Di bidang kebudayaan dan kemasyarakatan, Jogja yang saat itu masih kental dipengaruhi oleh ‘warisan’ budaya Majapahit dan Syiwa Budha, sedikit demi sedikit mulai diarahkan pada budaya dan pola interaksi yang islami. Di sinilah peran Sunan Kalijaga, dalam catatan sejarah, memberikan andil yang begitu besar. Hasilnya adalah terdapat sejumlah upacara kerajaan yang telah diislamisasi sebagai syiar Islam di tengah masyarakat, seperti sekaten, rejeban, grebeg, upacara takjilan dan tentu saja wayang yang masih ada hingga kini. Wayang, sebagai salah satu contoh, merupakan sarana yang digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai media mendakwahkan Islam (dakwahtainment). Wayang yang sudah ada sejak Kerajaan Kahuripan itu menjadi salah satu hiburan masyarakat yang paling populer.

Demikian pula pada upacara grebeg dan sekaten. Sekaten dari bahasa Arab syahadatain, yang artinya dua syahadat, merupakan nama dua buah gamelan yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga dan ditabuh pada hari-hari tertentu atau pada Perayaan Maulud Nabi di Masjid Agung. Adapun grebeg, yang artinya mengikuti (bahasa Jawa), yakni upacara menghantarkan Sultan dari Keraton menuju masjid untuk mengikuti Perayaan Maulud Nabi Muhammad saw. yang diikuti juga oleh para pembesar dan pengawal Istana lengkap dengan nasi gunungannya. [Bey Laspriana, tinggal di Yogyakarta]

Daftar Bacaan:

1. Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman. Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, Tarawang, Yogyakarta, Januari 2000.

2. Umar Hasyim, Sunan Kalijaga, Menara Kudus, 1974.

3. Solichin Salam, Sekitar Walisanga, Menara Kudus, 1960.

4. Wikipedia/kerajaan_mataram_islam.

5. Mark R Woodward, Islam Jawa. Kesalehan Normatif versus Kebatinan, LKIS, Jogja, 1999.

6. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam : Khilafah dalam bagian “Dunisa Islam Bagian Timur”, PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002.

7. Rahimsyah, Kisah Wali Songo, tanpa tahun, Karya Agung Surabaya

March 5, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Dusun Mlangi, Wisata Religius Islami

Dusun Mlangi, Wisata Religius Islami


Jalan beraspal yang kanan kirinya ditumbuhi pohon kelapa akan ditemui bila berjalan ke arah utara melewati ring road barat Yogyakarta. Melaju mengikuti arah jalan itu, anda akan sampai ke sebuah dusun bernama Mlangi, tepatnya di sebuah masjid bernama Jami’ Mlangi. Sekeliling masjid itu berupa kompleks pemakaman dengan yang paling terkenal adalah makam Kyai Nur Iman.

Nama Mlangi tak lepas dari sosok Kyai Nur Iman yang sebenarnya adalah kerabat Hamengku Buwono I, bernama asli Pangeran Hangabehi Sandiyo. Kisahnya, Nur Iman yang sudah lama membina pesantren di Jawa Timur diberi hadiah berupa tanah oleh Hamengku Buwono I. Tanah itulah yang kemudian dinamai ‘mlangi’, dari kata bahasa Jawa ‘mulangi’ yang berarti mengajar. Dinamai demikian sebab daerah itu kemudian digunakan untuk mengajar agama Islam.

Masjid Jami’ Mlangi adalah bangunan paling legendaris di dusun ini karena dibangun pada masa Kyai Nur Iman, sekitar tahun 1760-an. Meski telah mengalami renovasi dan beberapa perubahan, arsitektur aslinya masih dapat dinikmati. Diantaranya adalah gapura masjid dan dinding sekitar masjid yang didesain seperti bangunan di daerah Kraton. Di dalam masjid yang oleh warga sekitar disebut “Masjid Gedhe” itu juga tersimpan sebuah mimbar berwarna putih yang digunakan sejak Kyai Nur Iman mengajar Islam.

Makam Kyai Nur Iman dapat dijangkau dengan melewati jalan di sebelah selatan masjid atau melompati sebuah kolam kecil yang ada di sebelah tempat wudlu. Makam itu terletak di sebuah bangunan seperti rumah dan dikelilingi cungkup dari bahan kayu. Makam itu selalu ramai sepanjang tahun, terutama pada tanggal 15 Suro yang merupakan tanggal wafatnya Kyai Nur Iman dan bulan Ruwah. Hanya pada bulan ramadan saja makam itu agak sepi. Biasanya, para peziarah membaca surat-surat Al-Qur’an dengan duduk di samping atau depan cungkup makam.

Berkeliling ke dusun Mlangi, anda akan menjumpai setidaknya 10 pesantren. Diantaranya, sebelah selatan masjid pesantren As-Salafiyah, sebelah timur Al-Huda, dan sebelah utara Al-Falakiyah. Pesantren As-Salafiyah merupakan yang paling tua, dibangun sejak 5 Juli 1921 oleh K.H. Masduki. Mulanya, As-Salafiyah bukanlah pesantren, hanya komunitas yang belajar agama di sebuah mushola kecil. Komunitas itu lantas berkembang menjadi pesantren karena banyak yang berminat. Meski bangunannya tak begitu besar, pesantren ini memiliki 300-an santri dan menggunakan metode mengajar yang tak kalah maju dengan sekolah umum.

Keakraban penduduk dengan Islam bukan sesuatu yang dibuat-buat. Buktinya dapat dilihat dari cara berpakaian penduduk. Di Mlangi, para lelaki biasa memakai sarung, baju muslim, dan peci meski tidak hendak pergi ke masjid. Sementara hampir semua perempuan di dusun ini mengenakan jilbab di dalam maupun di luar rumah. Pengamalan ajaran Islam seolah menjadi prioritas bagi warga Mlangi. Konon, warga rela menjual harta bendanya agar bisa naik haji.

Meski banyak warga punya kesibukan dalam mendalami agama Islam, tak berarti mereka tidak maju dalam hal duniawi. Dusun Mlangi sejak lama dikenal sebagai salah satu penghasil tekstil terkemuka, hanya jenis produknya saja yang berubah sesuai perkembangan jaman. Pada tahun 1920-an, usaha tenun dan batik cetak marak di kampung ini hingga tahun 1965-an. Usaha itu mulai pudar sejak batik sablon menguasai pasar dan harga kain bahan batik terus meningkat. Akhirnya, hanya tersisa beberapa pengusaha batik, diantaranya Batik Sultan agung yang juga mulai meredup akhir 1980-an. Kini, usaha yang sedang berkembang adalah celana batik, peci, jilbab, net bulutangkis, dan papan karambol.

Setiap Ramadan, dusun ini selalu ramai dengan ritual ibadah yang dijalankan warganya. Mulai dari tadarus, pengajian anak-anak, dan sebagainya. Tak sedikit pula masyarakat dari luar Mlangi yang datang untuk ‘wisata’ agama, semacam pesantren kilat. Nah, bila anda ingin berkunjung ke Mlangi, inilah saat yang tepat. Sepanjang siang selama bulan Ramadhan, anda juga akan melihat betapa akrab anak-anak bermain petasan.

Maturnuwun Sumber :  YogYES.COM

March 5, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Kampung Kauman, Pesona Jogja Islam

Kampung Kauman, Pesona Jogja Islam


Sebuah persimpangan akan dijumpai sesampai di ujung Jalan Malioboro. Orang seolah dihadapkan pada pilihan hendak ke mana kemudian. Hingga hari ini, lebih banyak orang memilih untuk berjalan terus ke kawasan Kraton tanpa sadar mereka telah melewatkan salah satu pesona yang tersimpan di kawasan itu, Kampung Kauman. Daerah yang akan dijumpai bila memilih berbelok ke kanan, melewati Jalan K.H. Ahmad Dahlan, dan masuk ke sebuah gapura yang ada di kiri jalan.

Kampung Kauman pada jaman kerajaan merupakan tempat bagi 9 ketib atau penghulu yang ditugaskan Kraton untuk membawahi urusan agama. Sejak ratusan tahun lampau, kampung ini memiliki peran besar dalam gerakan keagamaan Islam. Di masa perjuangan kemerdekaan, kampung ini menjadi tempat berdirinya gerakan Islam Muhammadyah. Saat itu, seorang muslim bernama K.H Ahmad Dahlan yang menjadi pendiri gerakan tersebut merasa prihatin karena banyak warga terjebak dalam hal-hal mistik. Di luar itu, K.H. Ahmad Dahlan juga menyempurnakan kiblat sholat 24 derajat ke arah barat laut (arah Masjid al Haram di Mekkah) serta menghilangkan kebiasaan selamatan untuk orang meninggal.

Gapura yang bagian atasnya berbentuk lengkung akan menyambut sebelum memasuki Kauman. Bentuk lengkung itu merupakan salah satu ciri bangunan Islam yang banyak mendapat pengaruh dari Timur Tengah. Di bagian atas gapura, akan ditemui gambaran berbentuk lingkaran berwarna hijau dengan matahari bersinar 12 yang berwarna kuning di dalamnya. Gambaran tersebut sampai saat ini masih dipakai Muhammadyah sebagai lambang organisasi sekaligus institusi lain yang bernaung di dalamnya.

Menyusuri gang-gang kampung Kauman harus dengan berjalan kaki. Selain ada tanda dilarang memakai kendaraan yang dipasang di dekat gapura, jalan di Kauman sengaja dirancang agar menyulitkan kendaraan masuk. Perancangan itu bermaksud agar kebisingan tidak mengganggu kesibukan para santri belajar dan sebagai wujud filsafat kesetaraan di Kauman dimana setiap orang yang masuk diwajibkan menangggalkan status sosialnya dengan berjalan kaki.

Di kanan kiri gang, anda akan melihat ragam bangunan dengan berbagai desain rancang bangunnya. Sebuah rumah berwarna kuning yang kini dipakai penghuninya membuka retail akan ditemui tak jauh dari gapura. Rumah tersebut memiliki pintu, jendela, dan ruangan besar, serta ventilasi yang berhias kaca warna menunjukkan pengaruh arsitektur Eropa. Berjalan ke ujung gang dan berbelok ke kanan, akan dijumpai rumah berwarna putih dengan kusen jendela dan pintu berwarna coklat. Daun jendela yang bagian atasnya berbentuk lengkung menunjukkan kuatnya pengaruh Timur Tengah. Tepat di depan rumah itu, terdapat rumah berwarna biru dengan desain atap mirip rumah Kalang di Kotagede.

Di ujung gang sebelum berbelok, bila cermat anda akan menemukan sebuah monumen yang dikelilingi taman kecil. di monumen itu terdapat tulisan “Syuhada bin Fisabillillah”, tahun 1945 – 1948, dan daftar nama yang memuat 25 orang. Monumen itu didirikan untuk memperingati jasa warga Kauman yang meninggal ketika ikut berperang memperjuangkan kemerdekaan. Kata ‘Syuhada’ menunjukkan bahwa warga Kauman yang tinggal kini menganggap para pejuang tersebut mati syahid.

Selain bisa melihat nama-nama pejuang kemerdekaan yang meninggal pada masa perang, anda juga bisa menemui salah satu pejuang yang kini masih hidup. Satu diantaranya adalah H. Dauzan Farook yang tinggal tak jauh dari pintu keluar kampung Kauman. Menurut ceritanya, saat perang kemerdekaan, ia ikut bergerilya bersama Panglima Besar Jendral Sudirman. Beberapa foto bersama sang panglima besar, newsletter pada masa perang kemerdekaan, dan berita-berita dari koran saat itu hingga kini masih disimpannya.

Di rumah Dauzan, anda juga akan mengetahui bahwa sampai kini pun ia masih berjuang. Ia mendirikan sebuah perpustakaan yang dikelola mandiri bernama Perpustakaan Mabulir. Setiap hari ia berkeliling dengan sepeda untuk menawarkan buku kepada masyarakat. Semua bukunya dipinjamkan hanya dengan satu syarat, orang yang dipinjami mesti mengumpulkan setidaknya 5 orang. Menurutnya, itu merupakan suatu bentuk kepedulian pada orang lain dan ajakan agar ilmu tidak dipendam untuk diri sendiri.

Sebuah sekolah lanjutan yang telah berdiri sejak 1919 juga dapat dijumpai di kampung ini. Awal berdirinya, sekolah itu bernama Hooge School Muhammadyah dan kemudian diganti menjadi Kweek School pada tahun 1923. sekolah yang juga didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan itu pada tahun 1930 dipecah menjadi dua, untuk laki-laki dan perempuan. Sekolah untuk laki-laki dinamai Mualimin dan untuk Perempuan dinamai Mualimat. Selanjutnya, istri Ahmad Dahlan juga mendirikan Yayasan Aisyah untuk kaum perempuan.

Bangunan paling dikenal yang termasuk dalam kompleks Kampung Kauman adalah Masjid Agung. Masjid yang menjadi masjid pusat di wilayah Kesultanan itu didirikan sejak 16 tahun setelah berdirinya Kraton Yogyakarta. Arsitektur masjid yang sepenuhnya bercorak Jawa dirancang oleh Tumenggung Wiryakusuma. Bangunan masjid terdiri atas inti, serambi, dan halaman yang keseluruhannya seluas 13.000 meter2. Bangunan serambi dibedakan dari bangunan inti. Tiang-tiang penyangga masjid misalnya, pada bangunan inti berbentuk bulat polos sebanyak 36 sedangkan pada bagian serambi tiangnya memiliki umpak batu bermotif awan sebanyak 24 buah.

Kalau sudah menjelajahi semuanya, anda akan mengakui kehebatan warga kampung kecil ini dan mempercayai bahwa Islam telah membawa perbaikan. Buktinya, sejumlah tokoh Islam Indonesia seperti Abdurrahman Wahid dan Amien Rais pernah belajar di kampung ini. Namun, jika belum puas berkelana, masih ada satu tempat lagi yang bisa dijajaki, yaitu Langgar Ahmad Dahlan. Dahulu, bangunan itu digunakan K.H. Ahmad Dahlan untuk mengadakan acara Sidratul Muntaha, sebuah pelajaran mengaji dan berdakwah. Langgar lain yang cukup legendaris adalah Langgar Putri Ar Rosyad yang merupakan langgar putri pertama di Indonesia. Bagaimana, cukup memuaskan? Jika sudah puas, barulah anda menuju ke kompleks Kraton lewat pintu keluar kampung.

Maturnuwun Sumber :  YogYES.COM

March 5, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Semangat Jogja Serambi Madinah Dihadiri 30.000 orang : Dari Bumi penerus Mataram Islam untuk Indonesia Damai

”Dihadiri 30.000 orang ,

Dari Bumi penerus Mataram Islam untuk Indonesia Damai”

JSM Info : Puluhan ribu orang yang memadati Alun-alun Utara, Kota Yogyakarta, memanjatkan doa secara bersama-sama agar terwujud Indonesia yang damai, melalui kegiatan bertajuk “Dari Mataram untuk Indonesia”, Kamis (4/3) malam. “Ada sekitar 30.000 orang yang secara bersama-sama memanjatkan doa untuk mewujudkan Indonesia yang damai, makmur dan sejahtera,” kata anggota panitia penyelenggara kegiatan doa dan tausiyah ini, Ahmad Nasir. Menurut dia, kegiatan tersebut digelar karena Yogyakarta merupakan miniatur Indonesia, yang secara tidak langsung menjadi kiblat bagi pergerakan bangsa ini. “Kami peduli dengan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga kami menggelar acara doa bersama ini untuk mewujudkan Indonesia yang damai,” katanya, dengan menambahkan bahwa acara itu juga merupakan bagian dari peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Ia mengatakan masyarakat yang datang dan memenuhi seperempat bagian Alun-alun Utara tersebut tidak hanya dari Kota Yogyakarta dan kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tetapi juga berasal dari kota-kota lain di Jawa Tengah di antaranya Kudus, Klaten dan Sragen. Puluhan ribu orang itu mulai memadati Alun-alun Utara sejak pukul 19.00 WIB, meski acaranya baru dibuka secara resmi oleh Kapolda DIY Brigjen (Pol) Sunaryono sekitar pukul 20.30 WIB. Mereka menunggu selama satu jam lebih untuk mendengarkan tausiyah dari Habib Syeh bin Abdul Qadir Assegaf, ulama dari Surakarta (Jateng). Selama menunggu, mereka dihibur kesenian “hadrah” yang melibatkan sekitar 400 penabuh “terbang” dari DIY. Sementara itu, Brigjen (Pol) Sunaryono berharap bangsa Indonesia selalu dalam kondisi yang aman, dimulai dari Yogyakarta, DIY, dan untuk seluruh wilayah tanah air Indonesia. “Sebagai aparat kepolisian, kami bertanggung jawab untuk memelihara kamtibmas dan melindungi serta mengayomi masyarakat. Sehingga, keamanan dan ketertiban harus selalu terjaga,” katanya. Menurut dia, rasa dan situasi yang aman akan meningkatkan perekonomian masyarakat, dan berimbas pada peningkatan pembangunan. “Hasil pembangunan akan dirasakan masyarakat, yakni terciptanya peningkatan kesejahteraan rakyat,” katanya. Selain dihadiri sejumlah pejabat publik, acara tausiyah dan doa bersama ini juga dihadiri kerabat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat selaku pemilik Alun-alun Utara yang diwakili GBPH Joyokusumo, adik Sri Sultan HB X yang di kenal mengusung Semangat Jogjakarta Serambi Madinah. semoga menjadi lebih baik, dari Jogjakarta penerus Mataram Islam menuju Indonesia yang lebih baik.

Tim JSM Info dari berbagai Sumber

March 5, 2010 Posted by | Uncategorized | Leave a comment